Selasa, 05 Januari 2010

Tingkah laku agonistik

Semua tingkah laku yang mengarah kepada terjadinya perkelahian pada hewan-hewan satu spesies disebut tingkah laku agonistik (Price, 1975 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007). Menurut Konrad Lorenz (1996) dalam Susilowati, dkk. (2001), insting berkelahi pada hewan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, saraf, dan hormon. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan.
Fungsi umum dari tingkah laku agonistic adalah penyesuaian diri untuk kondisi konflik yang terjadi dalam satu spesies (Susilowati, 2001). Aspek-aspek yang ada dalam tingkah laku agonistik antara lain ancaman, pengejaran, dan pertarungan fisik. Pada dasarnya tingkah laku agonistik tersebut merupakan kompetisi untuk beberapa sumber, yaitu makanan, air, pasangan, dan tempat tinggal untuk tempat bersarang, perlindungan selama musim dingin atau terhadap predator (Drickamer dan Vessey, 1982 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007).
Jengkerik merupakan hewan yang sangat tepat untuk digunakan dalam mempelajari tingkah laku agresif. Hal ini dikarenakan hewan ini bergerak aktif, memiliki variasi tingkah laku yang luas dan mudah diperoleh (Susilowati dan Rahayu, 2007).
Dua bentuk organisasi sosial pada jengkerik, hirarki dominansi, dan teritorialitas terjadi setelah adanya tingkah laku agonistik. Dominansi satu jengkerik atas jengkerik yang lain terjadi setelah hewan-hewan tersebut mempertunjukkan suatu tingkah laku agonistik, meskipun tidak selalu melalui perkelahian. Demikian juga dengan pembentukan dan pertahanan teritorial, jengkerik harus melakukan tingkah laku agonistik terlebih dahulu terhadap jengkerik lain (Susilowati dan Rahayu, 2007).
Hirarkhi dominansi terjadi bila satu anggota populasi mengusai anggota yang lain secara tetap. Sifat hirarkhi mungkin linier: A mengalahkan B, B mengalahkan C, C mengalahkan D, dan seterusnya. Tetapi mungkin juga terjadi hirarkhi yang lebih kompleks: A mengalahkan B, B mengalahkan C, C mengalahkan D, tetapi D mengalahkan B, dan C mengalahkan A (Susilowati dan Rahayu, 2007).
Teritorial merupakan daerah yang dikuasai oleh hewan tertentu dan dipertahankan secara agresif. Pada jengkerik, teritorial ini biasanya areal di sekitar lubang atau tempat persembunyiannya. Umumnya hewan yang berada pada daerah teritorialnya bersifat dominan terhadap hewan pendatang (Susilowati dan Rahayu, 2007).
Etogram tingkah laku agonistik yang teramati:
 Dua ekor jengkerik saling berhadapan pada jarak yang cukup jauh
 Kedua jengkerik bergerak mendekat dan menggerak-gerakkan sepasang antenanya
 Kedua jengkerik berhadapan pada jarak yang sangat dekat
 Antena digerak-gerakkan semakin cepat, seperti saling beradu antena
 Kedua jengkerik saling membenturkan kepala dan saling menyerang dengan sepasang kaki depan
 Mengeluarkan bunyi dengan cara menggetarkan sayap
 Jengkerik yang suaranya paling keras menang
 Jengkerik yang kalah membalikkan badan dan berlari menjauhi jengkerik yang menang
Berdasarkan etogram yang dibuat dari tingkah laku yang teramati, tahapan dari tingkah laku agonistik yang terjadi pada jengkerik pengamatan yaitu tingkah laku agonistik diawali ketika dua ekor jengkerik saling berhadapan pada jarak yang cukup jauh. Selanjutnya kedua jengkerik saling bergerak mendekat dan menggerak-gerakkan sepasang antenanya. Setelah berada pada jarak yang sangat dekat antena digerak-gerakkan semakin cepat, terlihat seperti saling beradu antena antara kedua jengkerik. Tingkah laku tersebut terjadi dalam waktu yang cukup lama sampai akhirnya kedua jengkerik saling membenturkan kepala dan saling menyerang dengan sepasang kaki depan. Ketika menyerang dan terlibat perkelahian, kedua jengkerik juga mengeluarkan suara atau bunyi dengan cara menggetarkan sayap. Irama suara semakin meningkat seiring dengan lama perkelahian yang terjadi. Jengkerik yang suaranya paling keras, adalah jengkerik yang menang, sedangkan jengkerik yang kalah membalikkan badan dan berlari menjauhi jengkerik yang menang. Kemungkinan jengkerik yang menang masih tetap mengejar jengkerik yang kalah.
Ketika terjadi tingkah laku agonistik, pasti jengkerik yang saling berhadapan mengeluarkan suara (mengerik). Jengkerik yang lebih dominan dari jengkerik lain pasti suara yang dihasilkan juga lebih nyaring. Menurut Farb (1981), hanya individu jantan yang menghasilkan suara (mengerik). Suara yang dihasilkan oleh binatang pengerik tersebut biasanya berkaitan dengan perilaku kawin, untuk menghalau musuh, untuk mengusir pejantan lain sesama spesies, dan merupakan sarana komunikasi antar spesies. Suara tersebut dihasilkan dari getaran sayap. Sisi bawah masing-masing sayap dilalui oleh pembuluh darah yang berukuran besar dan berbentuk seperti sisir. Mekanisme terjadinya suara yaitu apabila kedua sayap digerakkan dari samping, maka bentukan seperti sisir tersebut akan tergesek oleh bagian sayap yang lain. Adanya gerakan sayap dan gesekan sayap dengan sisir tersebut yang menimbulkan nada tinggi atau nyaring. Keras atau lemahnya suara yang ditimbulkan akibat gerakan sayap tersebut dapat menentukan tingkatan hirarkhi dominansi suatu individu. Dari praktikum yang kami lakukan, diketahui bahwa suara yang paling nyaring adalah suara dari jengkerik B, dan memang jengkerik B merupakan jengkerik yang hirarkhi dominansinya paling tinggi diantara jengkerik yang lain.
Suara berpengaruh pada perilaku kawin jengkerik ditunjukkan ketika dimasukkan individu betina dalam akuarium, usaha dari individu jantan untuk menarik perhatian individu betina dengan cara berjalan mendekati individu betina dan mengitarinya sambil terus mengeluarkan suara. Dari tingkah laku jantan juga dapat terlihat adanya orientasi, yaitu mengarahkan individu betina dengan cara berjalan didepan individu betina menuju sarang individu jantan. Apabila individu betina tertarik, maka individu betina akan mengikuti jengkerik jantan menuju sarangnya dan terjadi kopulasi. Tingkah laku seperti tersebut ditunjukkan oleh jengkerik B ketika melakukan kopulasi dengan individu betina yang dimasukkan ke dalam akuarium.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkah laku agonistik, yaitu makanan, teritorialitas, seksualitas, dan hirarkhi dominansi. Menurut Susilowati, dkk. (2001), faktor makanan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup individu, teritorialitas berkaitan dengan tempat tinggal atau sarang, seksualitas berhubungan dengan usaha jantan untuk mendapatkan pasangan dan mempertahankannya dari jantan lain, dan hirarkhi dominansi berkaitan dengan kontrol tingkah laku hewan lain oleh hewan yang paling dominan.
Hirarkhi dominansi dapat terjadi apabila salah satu anggota populasi menguasai anggota populasi yang lain secara tetap. Menurut Susilowati, dkk. (2001), dijumpai 3 tipe hirarkhi dominansi, yaitu linier, triangular, dan dendritik. Triangular dan dendritik merupakan hirarkhi dominansi yang kompleks. Dari data hasil pengamatan diketahui bahwa pada praktikum yang dilakukan termasuk hirarkhi dominansi yang kompleks tipe dendritik. Karena seekor jengkerik dapat mendominasi lebih dari seekor jengkerik yang ada di akuarium, dan dari dua atau lebih ekor jengkerik yang mendominasi, ada seekor jengkerik yang paling dominan. Seperti yang terlihat pada tabel hirarkhi dominansi bahwa jengkerik C dominan dari jengkerik A, D, dan E, namun ada jengkerik yang lebih dominan dari jengkerik C, yaitu jengkerik B. Waktu untuk mencapai keadaan stabil pada masing-masing tingkah laku agonistik jengkerik berbeda-beda. Jika diurutkan dari jengkerik yang dominansinya paling tinggi ke rendah yaitu jengkerik B, C, D, A, dan E.
Terdapat perbedaan waktu yang digunakan untuk mencapai hirarkhi dominansi antara sebelum diberi jengkerik betina dan setelah diberi jengkerik betina. Rata-rata hitungan waktu yang diperlukan untuk mencapai hirarkhi dominansi pada saat sebelum ada jengkerik betina dalam hitungan detik, sedangkan setelah diberi jengkerik betina untuk mencapai hirarkhi yang stabil dalam hitungan menit. Perbedaan waktu tersebut dapat dipengaruhi karena setelah diberi jengkerik betina, tingkah laku agonistik yang muncul tidak hanya dipengaruhi untuk mencapai hirarkhi dominansi, melainkan ada faktor lain yang mempengaruhi, yaitu seksualitas. Seperti pernyataan Nelson (2003) yang menyatakan bahwa kehadiran individu betina menyebabkan pencapaian kondisi hirarkhi yang stabil dalam waktu yang lama. Karena, selain untuk mencapai hirarkhi dominansi, timbul rangsangan seksual pada individu jantan untuk mendapatkan pasangan. Sehingga terjadi perebutan antar individu jantan untuk mendapatkan individu betina. Individu jantan yang kalah, cenderung lebih sulit untuk mendapatkan individu betina, karena individu jantan yang menang akan menghalau individu yang kalah untuk mendekati individu betina. Sehingga hanya individu jantan yang menang yang dapat mendekati betina.
Teritorial merupakan daerah yang dikuasai oleh hewan tertentu dan dipertahankan secara agresif. Pada jengkerik, teritorial ini biasanya merupakan areal yang berada di sekitar lubang tempat persembunyiannya. Umumnya, hewan yang berada pada daerah teritorialnya bersifat dominan terhadap pendatang (Susilowati, dkk., 2001).
Resident male berusaha untuk mempertahankan teritorialnya ketika ada pendatang yang berusaha merebut teritorial tersebut. Ketika resident male lebih dominan daripada pendatang, jengkerik C dapat mempertahankan teritorialnya dan menghalau setiap jengkerik yang berusaha masuk teritorialnya dengan cara mengeluarkan suara yang nyaring, perkelahian fisik, bahkan pengejaran. Namun, ketika jengkerik pendatang lebih dominan daripada resident male, maka meskipun resident male memberikan perlawanan secara agresif terhadap jengkerik pendatang, jengkerik C tetap tidak dapat mempertahankan teritorialnya. Akhirnya teritorial tersebut menjadi milik jengkerik pendatang (jengkerik B) yang lebih dominan. Ketika masing-masing jengkerik memiliki teritorial, tidak terjadi tingkah laku agonistik yang dipengaruhi oleh faktor teritorial. Teritorial bertujuan untuk mengurangi kehilangan energy dan suatu individu hanya akan melakukan aktivitas pada teritorial yang dimilikinya (Anonim, 2000). Jadi, dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa ketika suatu individu memiliki teritorial, maka kegiatan seperti berburu, makan, dan reproduksi terjadi pada teritorialnya.
Ketika dimasukkan individu betina pada akuarium, kembali terjadi tingkah laku agonistik yang dipengaruhi oleh faktor seksualitas. Individu jantan yang lebih dominan (jengkerik B) berusaha menghalau individu jantan lain yang berusaha mendekati individu betina dengan cara mengejar individu jantan lain (jengkerik C). Jengkerik B mengeluarkan suara dan berjalan didepan jengkerik betina untuk menarik perhatian individu betina. Kemudian jengkerik B mengitari jengkerik betina dan berusaha mengajak jengkerik betina menuju sarangnya. Setelah sampai disarang, jengkerik jantan dan betina melakukan kopulasi.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2000. Interaksi Sosial Dalam Kelompok. (Online), (http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=124191&lokasi=lokal, diakses tanggal 7 Desember 2009)
Nelson, Mark. 2003. Animal Behavior. (Online), (http://extension.usu.edu, diakses tanggal 7 Desember 2009)
Susilowati, dkk. 2001. Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM
Susilowati, Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM

2 komentar:

  1. mbak... laporannya membantu bgt buat TLH praktikum terakhir di semester ini...
    Laporan sebelumnya juga,,
    Makasih mbak :)

    BalasHapus
  2. mbak IZin Copas Ya Bual Laporan Praktikum saya... hhehhee
    Salam kenal Annisa MIPA Unlam
    Terimakasih

    BalasHapus