Selasa, 05 Januari 2010

Adaptasi terhadap amputasi pada kecoa

Serangga menunjukkan 2 jenis tingkah laku, yaitu tingkah laku innate dan learned. Innate behavior merupakan suatu tingkah laku yang diturunkan oleh system syaraf dan merupakan pembawaan dari induk. Sedangkan tingkah laku yang tidak diturunkan dan merupakan tingkah laku yang berasal dari proses belajar disebut dengan tingkah laku belajar (learned). Learned dapat diperoleh melalui adanya interaksi antara individu dengan lingkungan atau dengan individu yang lainnya (Chaig, 1981).
Menurut Dharmawan, dkk. (2005), adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut biasanya muncul dalam bentuk gerakan untuk menanggapi rangsang yang mengenai dirinya. Rangsangan itu dapat berasal dari lingkungan luar dan dari lingkungan dalam tubuhnya sendiri. Hal tersebut dicontohkan ketika kecoa dikenai stimulus berupa sentuhan pada suatu bagian tubuh, misalnya kepala, maka dengan cepat kecoa akan merespon stimulus tersebut dengan bergerak cepat melarikan diri menjauh dari tempat dimana kecoa mendapatkan stimulus tersebut. Sedangkan perubahan tingkah laku atau gerakan dicontohkan pada kecoa yang mengalami amputasi pada beberapa bagian tubuh. Namun, perubahan tingkah laku tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat seperti respon terhadap stimulus berupa sentuhan. Perubahan tingkah laku membutuhkan waktu yang cukup lama karena adanya proses belajar.
Menurut Chaig (1981), tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap lingkungannya, dan pada banyak kasus merupakan hasil dari seleksi alam, misalnya terbentuknya struktur fisik. Setiap hewan memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi atau penyesuaian terhadap kondisi lingkungan tertentu dengan cara mengembangkan suatu pola tingkah laku yang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Tingkah laku demikian merupakan tingkah laku adaptasi. Misalnya adaptasi yang dilakukan oleh hewan ketika terjadi amputasi pada bagian tubuh tertentu. Menurut Barnet (1981) dalam Susilowati dan Rahayu, 2007), adaptasi terhadap amputasi merupakan salah satu bentuk tingkah laku hewan terhadap kondisi tubuh yang kurang menguntungkan.
Kecoa termasuk serangga pengembara dengan lima ruas tarsi dan tidak satu pun tungkai yang mengalami modifikasi untuk menggali. Kecoa memiliki kemampuan berlari yang sangat cepat. Tubuh kecoa berbentuk bulat telur dan gepeng, kepala tersembunyi dari atas oleh pronotum. Timpana dan organ-organ yang menghasilkan suara (biasanya) tidak ada. Pada beberapa spesies kecoa ditemukan sayap yang menyusut, ukuran sayap individu betina biasanya berukuran lebih kecil daripada sayap pada individu jantan. Sersi memiliki ruas cukup banyak dan biasanya berukuran panjang. Antena atau sungut berukuran panjang dan berbentuk seperti filament. Serangga ini merupakan jenis serangga pemakan segala. Telur-telur kecoa dibungkus dalam kapsula atau ooteka yang dibawa oleh individu betina di bagian abdomen atau dibagian dalam uterus (Barror, 1992).
Antena kecoa berbentuk benang bertipe filiformis dan tersusun atas segmen-segmen. Antena berukuran panjang dan sangat motil (Kastawi, 2000). Sedangkan menurut Peter (1971) dalam Chaig (1981), menyatakan bahwa pada antena kecoa terdapat rambut-rambut sensori yang berfungsi sebagai indera pembau yang selalu menjaga kelembapannya dengan cara mengeluarkan sekret dari suatu kelenjar khusus. Menurut Sastrodiharjo (1979), pada kedua antena insekta terdapat organ kardatonal yang digunakan sebagai alat penangkap getaran suara. Organ ini terletak pada bagian persendian dan segmen antena.
Pada kecoa diketahui bahwa antena merupakan bagian penting dalam gerakan. Selain itu antena dapat pula berfungsi sebagai pembersih tubuhnya (Bannet, 1981 dalam Susilowati & Rahayu, 2007). Selain sepasang antena, juga terdapat organ lain yang bisa digunakan dalam membersihkan tubuh, yaitu 2 pasang palpus dan sepasang kaki depan (Susilowati, dkk., 1999). Apabila kecoa kehilangan antena dalam proses pembersihan tubuhnya maka kecoa akan menggunakan alat lain, yaitu palpus atau kaki depan. Gejala ini muncul sebagai akibat dari adanya situasi baru (Susilowati & Rahayu, 2007).
Menurut Peter (1971) dalam Chaig (1981), menyebutkan bahwa mekanisme berjalan kecoa terdiri dari beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
a) Kaki depan dan tengah kiri diangkat, kemudian kedua pasang kaki yang lain bertumpu ditanah (bagian tarsus)
b) Kaki belakang kanan dan tengah kiri diangkat, kemudian kedua pasang kaki yang lain diam atau tidak bergerak sampai semua kaki bertumpu ditanah
c) Kaki depan kiri dan kaki tengah kanan diangkat, sedangkan kaki lainnya diam atau tidak bergerak
d) Kaki belakang kiri dan kaki tengah kanan diangkat, sedangkan kaki lainnya diam atau tidak bergerak
e) Mengangkat kaki belakang kiri saja dan terus berganti dengan kaki depan kanan diangkat.
Pada kecoa diketahui bahwa antena merupakan bagian penting dalam gerakan. Selain itu, antena dapat pula berfungsi sebagai pembersih tubuhnya (Bannet, 1981 dalam Susilowati & Rahayu, 2007). Selain sepasang antena, juga terdapat organ lain yang bisa digunakan dalam membersihkan tubuh, yaitu 2 pasang palpus dan sepasang kaki depan (Susilowati, dkk., 1999).
Adanya amputasi pada bagian antena sebelah kanan maupun kiri, menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku pada kecoa, baik tingkah laku berjalan maupun tingkah laku membersihkan tubuh. Dari hasil pengamatan, pemotongan salah satu antena menyebabkan posisi tubuh lebih condong ke arah dimana bagian antena dipotong, yaitu apabila antena kanan yang dipotong, maka posisi tubuh condong ke sebelah kanan, sedangkan apabila antena kiri yang dipotong, maka posisi tubuh cenderung ke arah kiri juga. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bannet (1981) dalam Susilowati dan Rahayu (2007) yang menyatakan bahwa antena kecoa berfungsi terhadap gerakan. Antena dapat berfungsi sebagai penunjuk arah dan keseimbangan gerakan kecoa, sehingga ketika salah satu antena terpotong, maka koordinasi gerakan menjadi terganggu, dan penentuan arah menjadi berubah, sehingga arah dan posisi kecoa tidak seimbang. Selain itu menurut Sastrodiharjo (1979), pada kedua antena insekta terdapat organ kardatonal yang digunakan sebagai alat penangkap getaran suara. Jadi, apabila terjadi amputasi pada salah satu bagian antena, maka getaran suara yang berasal dari lingkungan sekitar kurang dapat direspon oleh kecoa, sehingga tingkah laku kecoa berubah dari yang awal sebelum amputasi gerakannya gesit menjadi setelah amputasi gerakannya lambat.
Akibat pemotongan salah satu antena pada kecoa, juga menyebabkan situasi baru terhadap gerakan kecoa membersihkan diri. Hal tersebut dikarenakan antena juga berfungsi sebagai pembersih tubuhnya, maka ketika terjadi amputasi pada salah satu bagian antena, menimbulkan suatu kondisi baru pada tubuh kecoa, yang menjadi stimulus kecoa untuk melakukan suatu mekanisme adaptasi tingkah laku. Pada gerakan membersihkan badan pada kecoa normal, awal amputasi dan setelah pemeliharaan selama 5 hari, jelas terjadi perubahan pola gerakan. Pada kecoa normal dan awal amputasi, antena berperan dominan pada mekanisme pembersihan badan. Namun, setelah terjadi amputasi dan waktu pemeliharaan selama 5 hari, maka terjadi mekanisme internal kecoa yang di stimulus oleh factor eksternal yaitu hilangnya beberapa bagian tubuh, memaksa kecoa untuk mengembangkan suatu pola gerakan baru dengan cara menggunakan anggota badan yang lain untuk menggantikan fungsi organ yang hilang. Misalnya, karena amputasi salah satu antena, menyebabkan gerakan membersihkan badan menjadi terganggu dan tidak memungkinkan tetap menggunakan antena untuk membersihkan badan, sehingga memori kondisi tubuh tersebut menstimulus kecoa untuk menggunakan organ lain, yaitu palpus dan kaki depan untuk membersihkan badan. Selain itu, ketika sepasang kaki depan diamputasi, maka terjadi perbedaan pola gerakan berjalan pada kecoa. Gerakan yang awalnya menggunakan kaki depan sebagai tumpuan berubah menjadi kaki tengah yang menjadi tumpuan dan kaki belakang sebagai pendorong.
Waktu kecoa untuk melakukan adaptasi tingkah laku terhadap perubahan kebiasaan pada tiap-tiap individu kecoa berbeda-beda. Hal tersebut dibuktikan bahwa pada data beberapa perlakuan, ada kecoa yang memiliki tingkat untuk melakukan adaptasi tingkah laku rendah, sehingga ketika pengamatan pada hari ke-5, perubahan tingkah laku yang terjadi dari awal amputasi sampai hari ke-5 tidak banyak mengalami perubahan, misalnya dilihat dari data pengamatan pada kecoa ulangan 2 perlakuan pemotongan antena sebelah kanan dan kecoa ulangan 1 pada perlakuan amputasi sepasang kaki depan. Perbedaan tingkat kecepatan adaptasi tersebut dikarenakan kondisi metabolisme untuk tiap-tiap individu kecoa juga berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dharmawan, dkk. (2005), yang menyatakan bahwa kemampuan setiap individu untuk melakukan adaptasi berbeda-beda tergantung pada kemampuan hewan untuk merespon keadaan lingkungan eksternal maupun lingkungan internal. Jadi, ketika individu hewan mampu merespon keadaan dan perubahan lingkungan maupun kondisi tubuhnya dengan cepat, maka kemungkinan besar tingkat adaptasi dari hewan tersebut tinggi. Namun sebaliknya, apabila daya tangkap dan daya tanggap individu rendah terhadap perubahan lingkungan eksternal maupun internalnya, maka tingkat adaptasi dari hewan tersebut rendah dan lama.
Suatu kebiasaan pada hewan, misalnya kebiasaan membersihkan diri pada kecoa merupakan suatu kegiatan yang sangat kompleks. Hal ini sesuai dengan pernyataan Drickamer (1984) dalam Susilowati dan Rahayu (2007), yang menyatakan bahwa kebiasaan tidak diperoleh secara pasif, artinya bahwa hewan berpartisipasi secara aktif dalam perkembangan kebiasaan. Jadi, semua mekanisme perubahan tingkah laku baik tingkah laku membersihkan badan dan berjalan yang terjadi pada kecoa yang mengalami amputasi, menunjukkan bahwa pada kecoa juga terjadi mekanisme adaptasi tingkah laku untuk merespon suatu kondisi yang kurang menguntungkan. Gejala terjadinya suatu perubahan tingkah laku muncul sebagai akibat dari adanya situasi baru (Susilowati & Rahayu, 2007).

DAFTAR RUJUKAN
Barror, I. J. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Chaig, J. V. 1981. Domestic Animal Behaviour. New Jersey: Prentige Hall, Inc
Dharmawan, Agus, dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang: UM PRESS
Kastawi, Yusuf, dkk. 2000. Zoologi Avertebrata. Malang: FMIPA UM
Sastrodiharjo. 1979. Pengantar Entomologi Terapan. Bandung: ITB Bandung
Susilowati, dkk. 1999. Petunjuk Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM
Susilowati, dan Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar