Minggu, 17 Januari 2010

Bioluminesen pada ikan Angler (Melanocoetus johnsoni)

Berbagai keanekaragaman makhluk hidup yang ada merupakan salah satu tanda dari keagungan Tuhan atas semua ciptaan-Nya yang ada di alam raya. Semua mekhluk yang diciptakan Tuhan pastilah memiliki keunikan atau karakteristik tersendiri yang membedakan dari organism lainnya. Karakteristik tersebut berfungsi untuk kelestarian dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari suatu organism. Keunikan tersebut dapat berupa kemapuan merubah diri atau berkamuflase ataupun ada organ tambahan, seperti labirin ataupun antenna.
Samudera merupakan salah satu habitat dari organism. Ada oganisme yang hidup di permukaan samudera, dan ada yang hidup pada kedalaman samudera. Keadaan kedalaman samudera dingin, gelap, dan tenang. Tidak ada tumbuhan yang dapat tumbuh disana, sehingga hewan memakan hewan lain atau tumbuhan mati dan hewan yang tenggelam perlahan-lahan dari permukaan. Hewan yang tinggal di laut yang dalam dilengkapi dengan organ tamabahan yang unik. Organ ini berfungsi sebagai penunjang kelangsungan hewan tersebut untuk hidup di kedalaman laut.
Ikan angler (Melanocoetus johnsoni) merupakan salah satu jenis ikan unik yang tinggal di laut dalam yang bersuhu antara 3-10 derajat C. Ikan jenis ini tinggal di kedalaman laut yang tidak bias ditembus oleh sinar matahari. Ikan angler memiliki tulang yang sangat tipis dan halus. Kulitnya berwarna hitam dan gelap sehingga semakin berfungsi untuk menyamarkan diri dari predator yang ingin menyerangnya ataupun memangsanya. Ikan ini memiliki mulut yang besar dengan gigi yang tajam dan panjang. Gigi-gigi tersebut melengkung ke dalam mulut agar manggsa yang tertangkap bias langsung masuk ke dalam mulut dan terjebak tidak dapat keluar kembali. Selain keunikan dari bentuk gigi, ikan angler juga memiliki antenna yang dapat bercahaya pada kegelapan.
Antenna ikan angler yang dapat mengeluarkan cajaya di kegelapan merupakan peristiwa bioluminense. Bioluminesen merupakan pancaran sinar oleh organism sebagai hasil dari oksidasi dari berbagai substrat dalam memproduksi enzim. Susunan substrat yang sangat stabil disebut dengan lusiferin, dan enzim yang sangat sensitive sebagai katalisator oksidasi disebut lusiferase.
Bioluminesen dapat diproduksi oleh bakteri, jamur, ataupun binatang invertebrate lain. Dari sekian banyak hewan bertulang belakang, hanya kelas Pisces yang mampu memproduksi sinar. Ikan menghasilkan bioluminesen dengan dua cara, yaitu dihasilka oleh pori-pori yang bercahaya ataupun organ yang mampu bersimbiose dengan bakteri atau organism lain penghasil sinar. Sehingga, cahaya yang terdapat pada antenna ikan angler sebenarnya berasal dari organ yang bersimbiose dengan jutaan bakteri yang mengeluarkan cahanya sendiri.
Fungsi dari antenna ikan angler yang bercahaya yaitu digunakan untuk menaksir kedalaman laut dimana ikan tersebut tinggal. Fungsi lain yaitu untuk menarik dan mengecoh perhatian mangsanya, serta untuk menyinari ligkungan sekitarnya. Antenna bercahaya pada ikan angler juga dapat menyala atau mati, sehingga mengecoh ikan-ikan kecil ataupun mangsa yang lain untuk mendekat, sehingga dengan mudah ikan angler dapat menangkap mangsanya. Ikan angler tidak banyak melakukan gerakan, bahkan cenderung pasif. Hal tersebut bertujuan untuk menghemat energy dikarenakan makanan yang tersedian di kedalaman laut sangat sedikit.
Antenna yang bercahaya hanya terdapat pada antenna ikan angler betina. Ukuran ikan angler betina lebih besar dengan panjang sekitar 8 cm, sedangkan ukuran ikan angler jantan lebih kecil dengan panjang hanya sekitar 3 cm. sehingga yang menarik pasangan adalah ikan betina. Antenna yang berada pada ikan angler betina berfungsi untuk menarik lawan jenis. Ikan jantan yang berukuran lebih kecil akan menempelkan organ perekatnya pada bagian sirip ikan betina, sehigga ikan jantan mengikuti kemanapun ikan betina bergerak. Ikan jantan juga mendapatkan makanan dari ikan betina. Sehingga dapat dikatakan ikan angler jantan seperti parasit pada ikan betina, namun dari simbiose tersebut, ikan angler jantan secara permanen menjadi pasangan serasi bagi ikan betina.

Rabu, 06 Januari 2010

Sistem saraf

Sistem saraf melakukan kontrol terhadap otot, kelenjar, dan organ-organ yang mengontrol seluruh aktivitas fisiologis manusia. Dalam kapasitasnya mengontrol fungsi tubuh, sistem saraf akan menerima masukan dari lingkungan eksternal dan lingkungan internal mengenai keadan tubuh kita, sisten saraf akan menentukan tindakan yang tepat untuk menjaga fungsi tubuh yang normal. Selain sisten saraf, tubuh kita memiliki kontrol lainnya yaitu sistem hormon (sistem endokrin). Sistem saraf melakukan kontrol melalui transmisi impuls, sedangkan sistem endokrin mensekresikan hormon untuk mengontrol aktifitas metabolisme dan aktifitas tubuh lainnya. Kontrol tubuh dengan saraf mengontrol kerja tubuh dengan cepat misalnya alat gerak, sedangkan sistem endokrin mengontrol kerja tubuh yang lambat misalnya mengontrol kadar gula dalam darah.
Sistem syaraf dan system endokrin akan membebaskan chemical messenger untuk berinteraksi dengan sel target. Bedanya adalah jarak yang ditempuh chemical messenger pada syaraf pendek pada celah sinaps, sedangkan pada endokrin chemical messenger lebih panjang melalui peredaran darah. Yang kedua adalah sinyal yang membebaskan chemical messenger pada syaraf adalah potensial aksi, sedangkan pada endokrin adalah berbagai sinyal khusus yang mungkin juga adalah potensial aksi. Sistem saraf dan system endokrin secara rumit berhubungan dalam aktifitas control.sistem saraf juga melakukan fungsi control yang penting terhadap sekresi banyak hormom. Hormon juga banyak yang bekerja sebagai neuro modulator untuk merubah keefektifan sinaps.
A. Organisasi Sistem Saraf
Berdasarkan perbedaan struktur, tempat dan fungsinya sistem saraf diorganisasi menjadi :
1. Sistem saraf pusat (Central Nervous System = CNS) yang terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang.
2. Sistem saraf tepi (Pheriperal Nervous System = PNS) yang terdiri atas serabut-serabut saraf yang menghubungkan sistem saraf pusat dengan bagian tepi tubuh (reseptor dan efektor). Sistem saraf tepi dibagi menjadi :
a. Kelompok saraf aferen (membawa ke) membawa informasi ke sistem saraf pusat.
b. Kelompok saraf eferen (membawa dari) membawa perintah dari sistem saraf pusat ke organ efektor yaitu sel-sel otot atau kelenjar-kelenjar.
Sistem saraf eferen dibagi menjadi:
1. Sistem saraf somatik yang terdiri dari saraf motorik yang menginervasi otot-otot rangka.
2. Sistem saraf otonom yang menginervasi otot polos, otot jantung, dan kelenjar-kelenjar. Sistem saraf otonom dibagi lagi menjadi:
a. Sistem saraf simpatetik
b. Sistem saraf parasimpatetik.


B. Klasifikasi Sel Saraf (Neuron)
a. Berdasarkan fungsinya, sel saraf dibagi menjadi:
1. Sel saraf aferen (sel saraf sensorik) termasuk sel saraf unipolar yang berfungsi untuk membangkitkan potensial aksi dalam merespon stimulus tertentu. Badan selnya terletak didalam medula spinalis dan sel saraf utamanya terletak didalam sistem sarap tepi.
2. Sel saraf eferen (sel saraf motorik) terletak terutama dalam sistem saraf tepi. Badan sel saraf eferen berada didalam sistem saraf pusat, dimana terdapat banyak input prasinaptik mengumpul pada badan sel ini untuk mempengaruhi output ke organ efektor.
3. Sel saraf antarneuron terletak didalam sistem saraf pusat yang memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai pengintegrasi respon perifer ke informasi perifer dan bertanggung jawab meneruskan informasi ke otak.
b. Berdasarkan strukturnya, sel saraf dibagi menjadi:
1. Sel Saraf Unipolar sel saraf yang memiliki satu penonjolan yang keluar dari badan sel (biasanya dianggap sebagai akson)
2. Sel Saraf Bipolar sel saraf yang memiliki dua penonjolan yang keluar dari badan sel (satu dendrit dan satu akson)
3. Sel Saraf Multipolar sel saraf yang memiliki banyak penonjolan yang keluar dari badan sel (beberapa disebut dendrit dan satu akson)
(Tenzer, 1993: 27-28).
Setiap sel saraf terdiri atas 2 bagian utama, yaitu perikarion (badan sel) dan prosesus (dendrit dan akson) :
(1) Badan sel berfungsi untuk menerima impuls stimulus, menterjemahkan dan meneruskan stimulus, memproses dan menyampaikan respon terhadap stimulus, dan sebagai pusat trofik bagi neuron. Badan sel terletak di subtansia kelabu sistem saraf pusat atau dalam ganglion sistem saraf tepi.
(2) Dendrit berfungsi menerima impuls dari lingkungan, epitel sensoris, atau neuron lain dan meneruskannya. Dendrit berada disubstansia putih sistem saraf pusat.
(3) Akson berfungsi untuk menghantarkan imuls ke neuron yang lain, atau menyampaikan respon ke organ efektor. Akson berada disubstansia putih sistem saraf pusat (Tenzer, 1993: 26-27).

C. Neuroglia (Sel-Sel Glial)
Neuroglia tidak menghantarkan implus saraf melainkan berperan penting dalam menghidupi sistem saraf pusat, berperan sebagai penunjang sistem saraf pusat, dan membantu menunjang sel saraf secara fisik dan metabolik.
Neuroglia memiliki 4 tipe utama, yaitu:
1. Astrosit berfungsi sebagai “perekat” utama sistem saraf pusat, mengikat sel-sel saraf dalam hubungan spasial yang tepat. Astrosit juga berperan dalam perbaikan kerusakan otak dan sel saraf, penunjang sel saraf secara metabolik, dan penghilang pengaruh K+ dari cairan ekstra seluler otak bila potensial tinggi.
2. Oligodendrosit berfungsi membentuk insulin sarung (segmen-segmen) mielin dalam sistem saraf pusat.
3. Sel Ependimal berfungsi melapisi ruang-ruang dalam sistem saraf pusat. Sel ependimal mampu menghasilkan cairan serebrospinal.
4. Mikroglia berfungsi sebagai pembersih sistem saraf pusat. Pada keadaan normal sel-sel ini bersifat pasif dan akan aktif jika terjadi luka atau infeksi.

D. Pelindung Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat sangat gampang rusak, sehingga diperlukan perlindungan dari gangguan luar. Ada empat lapis pelindung system saraf pusat, yaitu:
1. Tulang kepala, merupakan lapisan pelindung paling luar yang berfungsi untuk melindungi otak, dan tulang belakang yang melindungi medulla spinalis (sumsum tulang belakang) dari gangguan mekanis (benturan, tekanan, dsb).
2. Meninges, yang berfungsi untuk memberi makanan pada sistem saraf pusat, dan terletak di antara tulang dan jaringan saraf. Meninges terdiri dari 3 lapis membran, yaitu dura mater, arahnoid mater, dan pia mater.
Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah sebagai berikut:
a. Duramater; terdiri dari dua lapisan, yang terluar bersatu dengan tengkorak sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai duramater yang mudah dilepaskan dari tulang kepala. Diantara tulang kepala dengan duramater terdapat rongga epidural.
b. Arachnoidea mater; disebut demikian karena bentuknya seperti sarang labah-labah. Di dalamnya terdapat cairan yang disebut liquor cerebrospinalis; semacam cairan limfa yang mengisi sela sela membran araknoid. Fungsi selaput arachnoidea adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik.
c. Piamater. Lapisan terdalam yang mempunyai bentuk disesuaikan dengan lipatan-lipatan permukaan otak (Anonim, 2009).

3. Cairan serebrospinal, yang berfungi sebagai bantalan cair untuk melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi utamanya menyerap guncangan, sehingga melindungi system saraf pusat dari benturan dengan tulang yang melindunginya. Fungsi yang lain adalah memegang peranan dalam pertukaran zat antara cairan tubuh dengan otak. Cairan serebrospiral dibentuk sebagai hasil dari mekanisme transport selektif melalui membran pleksus khoroid. Komposisi cairan serebrospinal berbeda dengan plasma darah, misalnya cairan serebrospinal mengandung K+ rendah dan Na+ lebih tinggi yang membuat suatu lingkungan yang ideal untuk difusi ion kearah konsentrasi rendah.
4. Penghalang darah otak, yang berfungsi untuk membatasi masuknya zat-zat berbahaya ke dalam jaringan otak yang mudah rusak. Penghalang darah otak merupakan system kapiler darah di dalam otak, melindungi otak melalui mekanisme pertukaran zat antara darah dan cairan interstisial otak secara selektif. Penghalang darah otak terdiri atas faktor anatomi non fisiologis. Dinding kapiler di seluruh tubuh dibentuk dari satu lapis sel dan terdapat lubang atau pori-pori di antara sel-sel penyusun dinding kapiler yang memungkinkan terjadinya pertukaran zat secara bebas antara plasma dengan cairan intertesial.
E. Sistem Saraf Pusat
Otak
Secara umum berat otak orang dewasa kira-kira 3 pound mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada 9 tahun pertama dan mencapai maksiaml pada umur 18 tahun. Otak dibagi dalam berbagai macam pembagian salah satunya otak dibagi dalam:
1. Diensefalon terdiri atas: hipotalamus, metatalamus, epitalamus.
2. Serebrun terdiri atas: basal nuklei, korteks serebral
Pembagian diatas disusun berdasarkan letak secara anatomi beserta kerumitannya serta dari yang paling muda sampai yang lebih muda. Saraf primitif terdiri atas beberapa interneuron yang menyebar ke sel-sel saraf eferen. Perkembangan selanjutnya interneuron lebih kompleks dan terlokalisasi pada tempat tertentu pada bagian kepala kemudian membentuk lapisan-lapisan yang lebih maju.
Batang otak merupakan bagian otak yang paling tua fungsinya adalah sebagi pengontrol berbagai macam proses fisiologis di dalam tubuh yang sering diistilahkan sebagai proses vegetatif. Pada bagian batang otak atas didepan otak kecil terdapat hipotalamus, epitalamus, talamus dan metatalamus. Hipotalamus mengontrol fungsi homeostatis dalam tubuh.
Serebrum merupakan bagian terluas dari otak manusia terbagi menjadi dua belahan yaitu belah otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belah otak dihubungkan oleh korpus kolasum suatu pita tebal yang terdiri atas 300 akson. Setiap hemisfer memiliki dua lapisan yang disebut korteks serebral pada bagian luar dan bagian berwarna putih yang disebut substansia alba. Pada substansia alba terdapat badan nuclei yang meripakan bagian dari subatansia gricea. Warna putih dari substansia alba bedasal dari lipid karena banyaknya akson bermielin.
Korteks serebral terdiri atas empat lobus yang pertama lobus osipitalis merupakam posterior dari korteks serebral bertanggung jawab pada yang berkenaan dengan impuls visual sedangkan sensasi suara oleh lobus temporalis yang merupakan korteks serebral bagian lateral.
Lobus parietalis dan lobus frontalis terdapat pada korteks serebral baguan atas depan. keduanya dipisahkan oleh suatu lekukan dunamakan sulkus sentralis. Lobus frontalis terletak di bagian depan sulkus sentralis dan lonus parietalis di bagian belakang. Lobus perietalis terutama berfunsi menerima dan memproses input sensori dari permukaan tubuh seperti sentuhan tekanan dan suhu. Bagian ini juga merupakan tempat pemrosesan kesadaran posisi tubuh somestetik. Korteks somatosemsori mengenali proses kortikal dari input somestetik dan proprioseptik terletak pada bagian sepan dari setiap lobus parietalis persis di belakang sulkus sentralis.
Setiap daerah dalam korteks somatosensori menerima input dari daerah tertentu pada tubuh manusia. Tempat diprosesnya input-input tersebut dinamakan homunculus sensori. Batas antara sensori-sensori pada homunclus tidak jelas karena hanya merupakan proporsi relativ dari korteks somatosensori.
Secara umum korteks somatosensori pada bagian otak kanan menerima input dari bagian tubuh sebelah kanan sebaliknya bila berasal dari korteks bagian kiri maka menerima input dari sebelah kanan.
Kesadaran sederhana dari sentuhan, tekanan dan suhu dideteksi oleh thalamus siati tingkat rendah dari otak. Thalamus membuat manusia bahwa sesuatu dingin telah disentuhkan kepada kita tetapi tidak bisa diketahui intensitasnya. Korteks somatosensori mampu melokalisasi sumber input sensori dan mengetahui tingkat stimulus.
Daerah bagian belakang lonus frontalis persis di depan sulkus sentralis berdampingan dengan korteks somatosensori adalah korteks korteks motor primer. Bagian ini mengontrol gerakan-gerakan sadar yang dihasilkan oleh otot rangka. Sama seperti korteks sensori korteks motorik juga mengatir bagiam yang berlawanan antara otak kanan dan otak kiri. Otak kiri mengatur motorik kanan dan otak kanan mengatur motorik kiri. Traktus saraf bermula pada korteks motor sebelah kiri bersilang masuk ke korda spinalis berakhur pada sel saraf motor eferen yang memicu kontraksi otot rangka.


Basal Nuklei
Basal nuklei memiliki peran penting sebagai inhibitor kontrol motor terdiri atas beberapa bagian yang terdiri atas beberapa substansia kelabu dan substansia putih. Satu nukleus adakah suatu agregasi fungsional dari badan-badan sel saraf . Basal nuklei diketahui berperan dalam proses sebagai berikut:
1. Penghambatan tonus otot di seluruh tubuh.
2. Membantu memonitor dan mengkoordinasi kontraksi yang dijaga lambat khususnya kontraksi yang berhubungan dengan postur dan penyangga tubuh.
3. Menekan pola gerakan yang tidak berguna.
Basal nuklei dalam menjalankan fungsinya mengirim dan menerima informasi ditandai dengan banyaknya serabut saraf yang menghubungkan dengan bagian otak yang lain. Satu jalur penting terdiri atas interkoneksi strategis membentuk lengkung umpan balik menghubungkan kortels serebral basal nuklei dan thalamus. Thalamus diperkirakan memperkuat secara positif perilaku yang diinisiasi oleh oleh korteks. Basal nuklei mengendalikan kegiatan yang dikoordinasi thalamus dengan cara menghambat thalamus sehingga mengurangu gerakan antagonistik yang tidal perlu. Basa nuclei juga menggunakan efek inhibitori pada aktifitas motor dengan mempengaruhi sel saraf pada batang otak. Salah satu penyebab diketahuinya salah satu fungsi dari basal nuklei adalah adanya derisiensi dopamine yang menyebabkan penyakit Parkinson.
Talamus
Pada otak dekat dengan basal nuklei terdapat diensefalon yang berbentuk dinding dengan dengan rongga ventrikel ke 3 diensefalom terdiri atas 3 bagian utama yaitu thalamus, hipotalamus,dan epitalamus.
Thalamus berperan sebagai stasiun relay dan pusat integrasi sinaptik utuk proses preliminary dari semua input sensori yang menuju ke korteks. Thalamus menyeleksi sinyal yang tidak signifikan dan menyalurkan impuls sensori yang penting ke daerah yang tepat pada korteks somatosensori dan juga daerah yang lain.
Hipotalamus
Hipotalamus berfungsi meregulasi berbagai fungsi homeostatik. Hipotalamus adalah suatu kumpulan nuklei khusus yang merupakan suatu pusat integrasi berbagai fungsi homeostatic yang penting beberapa diantaranya adalah:
1. Mengontrol suhu tubuh .
2. Mengontrol haus dan pengeluaran urin.
3. Mengontrol pengambilan makan.
4. Mengontrol pengeluran hormon ptituari anterior.
5. Mengontrol pengeluran hormon ptituari posterior.
6. Mengontrol kontraksi uterus dan pengeluaran asi.
7. Pusat koordinasi saraf otonom uatama yang mempengaruhi emua otot dan kelenjar eksokrin.
8. Berperan dalam emosi dan pola tingkah laku dan kejadian psikomatik.
Epitalamus
Epitalamus membentuk atap ventrikel ketiga dan merupakan bagian paling dorsal dari diensefalon. Bagian yang terpenting dari epitalamus adalah badan pineal atau epifisis, yang merupakan suatu strukur dari neuroendokrin, dan pleksus koroid dari ventrikel ketiga. Pleksus koroid merupakan kumpulan dari kapiler seperti simpul di dalam setiap ventrikel yang berfungsi untuk mensekresikan cairan serebrospinal.
Sistem Limbik
Sistem limbik merupakan suatu rangkaian struktur otak depan yang mengelilingi batang otak dan dihubungkan oleh jalur syaraf rumit. Sistem limbik meliputi bagian bagian sebagai berikut:
(1) Lobus limbik, yang dibentuk oleh girus singulat dan girus hipokampal
(2) Hipokampus, merupakan perluasan dari girus hipokampal ke lantai ventrikel lateral. Bagian ini berperan dlm proses belajar dan pembentukan memori jangka panjang.
(3) Nucleus amigdaloid, terletak pada ujung ekor nucleus kaudatus, yang merupakan pusat dari semua emosi, misalnya takut, marah, dan bahagia. Bagian ini juga berperan menimbulkan perilaku seksual, misalnya gerakan kopulasi.
(4) Nuclei perifornikal, dari hipotalamus
(5) Nucleus anterior, dari thalamus
Jaringan interaksi kerja yang kompleks antara lima bagian pada sistem limbik tersebut berhubungan dengan emosi, kelangsungan hidup , pola tingkah laku sosioseksual, dan motivasi serta belajar.
Konsep emosi meliputi, perasaan-perasaan emosional subyektif dan suasana hati (seperti marah, takut), ditambah dengan respon-respon fisik yang berhubungan dengan perasaan tersebut, misalnya persiapan untuk menyerang atau bertahan dari lawan. Dalam menjalankan aktivitas tingkah laku kompleks tersebut, misalnya menyerang, harus ada interaksi dengan lingkungan eksternal, yang menyebabkan terjadinya mekanisme kortikal tinggi yang menghubungkan hipotalamus dan sistem limbik dengan lingkungan eksternal, sehingga tingkah laku yang tepat dapat muncul. Jadi, peranan utama dari sistem limbik meliputi semua aspek emosi pada makhluk hidup.

Otak Kecil
Otak kecil atau disebut serebelum melekat pada bagian belakang atas dari batang otak, dibawah korteks lobus osipitalis. Serebelum merupakan bagian yang sangat penting dalam keseimbangan, perencanaan dan pelaksanaan gerakan yang disadari.
Mekanisme kerja serebelum berhubungan dengan aktivitas motorik, seperti basal nuclei otak kecil yang tidak mempunyai pengaruh langsung pada saraf eferen motor. Sehingga secara tidak langsung berfungsi mengubah output sistem motor utama otak.
Serebelum terdiri atas 3 bagian, yaitu;
(1) Vestibuloserebelum, berfungsi penting dalam menjaga keseimbangan dan mengontrol gerakan mata.
(2) Spinoserebelum, berfungsi untuk meregulasi gerakan otot dan mengkoordinasi gerakan sadar yang terlatih.
Spinoserebelum berperan sebagai “middle management”, yaitu membandingkan antara informasi yang diterima dari pusat pengontrol yang lebih tinggi tentang apa yang sebaiknya otot lakukan dan sistem saraf perifer tentang apa yang otot lakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
korteks motor mengirim pesan ke otot dan spinoserebelum ® spinoserebelum memberi sinyal umpan balik untuk mengoreksi gerakan ® dikirim ke serebrum melalui talamus ® gerakan yang lebih halus, cepat, terkoordinasi, dan terampil yang mempertahankan posisi dan keseimbangan

(3) Serebroserebelum, berperan dalam merencanakan dan memulai aktivitas sadar dengan memberikan input kepada daerah korteks motor. Bagian otak kecil ini juga terlibat dalam prosedur mengingat.
Serebelum dan basal nuklei keduanya berperan dalam memonitor dan mengatur aktivitas yang diperintah oleh korteks motor, namun memberikan pengaruh yang beda pada aktivitas gerak. Serebelum berfungsi untuk memelihara keseimbangan, meredam dengan cepat aktivitas motor fasik dan menambah kekuatan otot. Sedangkan basal nuklei berfungsi dalam mengkoordinasi gerakan yang lambat, menyangga gerakan yang berhubungan dengan postur dan menahan, serta menghambat irama otot. Jadi meskipun perintah gerak untuk aktivitas sadar dating dari korteks motor, koordinasi dari pelaksanaan actual aktivitas tersebut disesuaikan dengan baik oleh serebelum dan basal nuklei.

Batang Otak
Batang otak adalah suatu rantai penyambung antara otak dengan sumsum tulang belakang. Batang otak terdiri atas medulla oblongata (medula), pons, dan otak tengah (midbrain).
Fungsi batang otak meliputi:
(1) Tempat munculnya 10 dari 12 saraf kranial
(2) Pada bagian medulla terdapat pusat pengontrol denyut jantung yang mengontrol kecepatan denyut jantung, pusat vasokonstriktor yang mengatur diameter pembuluh darah, pusat pernafasan medulari yang mengatur kecepatan dan kedalaman pernafasan, dan sebagai pusat aktivitas pencernaan.
(3) Pons varolli mengandung pusat pernafasan pneumotaksikdan apneustik, bekerjasama dengan pusat pernafasan medulari membantu mengontrol pernafasan.
(4) Midbrain merupakan pusat refleks bola mata dan refleks kepala dalam merespon stimuli visual dan suara.
(5) Batang otak merupakan jaringan kerja yang menerima dan mengintegrasikan semua input sinaptik. Jaringan kerja tersebut merupakan serabut-serabut saraf persambungan yang bersimpang siur dari seluruh batang otak ke dalam talamus yang disebut dengan formasi reticular.
Fungsi dari formasi retikuler yaitu:
a. Serabut asending yang berasal dari formasi retikuler menyusun sistem pengaktif retikuler yang berfungsi untuk mengontrol keseluruhan tingkat kewaspadaan kortikal dan penting dalam kemampuan mengarahkan perhatian ke kejadian khusus.
b. Mengontrol aktivitas otot, khususnya regulasi refleks otot yang terlibat dalam keseimbangan dan menunjang tubuh.
(6) Sebagai pusat tidur dan terlibat secara rumit dengan sistem pengaktif retikuler.
Saraf kranial merupakan serabut saraf campuran, yaitu campuran antara serabut sensoris dan motoris, namun ada juga yang murni serabut saraf sensoris.
Badan sel dari sel serabut sensoris berada dalam ganglia diluar otak, sedangkan badan sel serabut motoris berada dalam nuclei di otak.
Macam-macam saraf kranial tersebut yaitu:
1) Saraf kranial I (saraf olfaktori)
Merupakan serabut sensoris murni yang berfungsi membawa impuls dari mukosa olfaktori yang berhubungan dengan bau.
2) Saraf kranial II (saraf optic)
Merupakan serabut sensoris murni yang berfungsi membawa impuls dari retina mata yang berhubungan dengan penglihatan.
3) Saraf kranial III (saraf okulomotor)
Merupakan serabut saraf campuran. Serabut motor somatic berfungsi untuk menginervasi otot mata ektrinsik , yaitu otot obliq inferior dan superior, otot rektus inferior dan medial, dan otot levator palpebra pelupuk mata. Serabut parasimpatetik menginervasi otot mata intrinsic, yaitu otot iris, dan otot penggantung lensa. Sedangkan serabut sensoris berfungsi membawa impuls proprioseptif dari otot mata ekstrinsik ke otak.
4) Saraf kranial IV (saraf troklear)
Merupakan serabut saraf camuran. Serabut motor somatic menginervasi otot obliq superior, sedangkan serabut sensoris menyampaikan impuls proprioseptif dari otot obliq superior ke otak.
5) Saraf kranial V (saraf trigeminal)
Merupakan serabut saraf campuran. Serabut sensoris utama menyampaikan impuls sensori dari kulit muka dan kulit kepala, mukosa mulut dan hidung, serta permukaan mata. Sedangkan serabut motoris yang ada pada devisi mandibular berfungsi untuk menginervasi otot-otot pengunyah dan otot dasar mulut.
6) Saraf kranial VI (saraf abdusen)
Merupakan serabut saraf campuran. Serabut motor somatic menginervasi otot rektus lateral bola mata, sedangkan serabut sensoris menyampaikan impuls proprioseptif dari otot tersebut ke otak.
7) Saraf kranial VII (saraf fasial)
Merupakan serabut saraf campuran. Serabut motor somatic menginervasi otot muka, sedangkan serabut parasimpatetik menginervasi kelenjar airmata dan kelenjar ludah. Serabut sensoris membawa impuls dari reseptor pengecap.
8) Saraf kranial VIII (saraf vestibulokoklear)
Merupakan serabut sensoris murni. Cabang vestibular menyampaikan impuls yang berhubungan dengan keseimbangan dari organ vestibular dan kanalis semisirkularis, sedangkan cabang koklear menyampaikan impuls yang berhubungan dengan pendengaran dari koklea.
9) Saraf kranial IX (saraf glosofaringeal)
Merupakan serabut campuran. Sedangkan serabut motor somatic menginervasi otot-otot faring, dan serabut parasimpatetik menginervasi kelenjar ludah. Serabut sensoris membawa impuls dari faring, tonsil, lidah bagian posterior dan reseptor tekanan pada arteri carotid.
10) Saraf kranial X (saraf vagus)
Merupakan serabut saraf campuran. Serabut saraf somatic menginervasi faring dan laring. Serabut parasimpatetik menginervasi jantung dan otot polos organ pencernaan. Sedangkan serabut sensoris membawa impuls dari faring dan laring ke otak.
11) Saraf kranial XI (saraf asesori)
Merupakan serabut saraf campuran. Serabut motor somatic menginervasi otot klaidomastoid, otot trapezius, dan otot langit-langit lunak mulut, otot faring, dan otot laring. Sedangkan serabut sensoris membawa impuls dari otot-otot tersebut ke otak.
12) Saraf kranial XII (saraf hipoglosal)
Merupakan serabut saraf campuran. Serabut motor somatic menginervasi otot lidah, sedangkan serabut sensoris membawa impuls dari lidah ke otak.

Sumsum Tulang Belakang dan Sistem Saraf Tepi
Sumsum tulang belakang berada di dalam saluran tulang belakang dan berhububungan dengan saraf spinal. Sumsum tulang belakang merupakan jaringan saraf berbentuk silinder lunak, panjangnya kurang lebih 45 cm, dengan diameter kira-kira 2 cm. Saraf spinal muncul berpasangan dari sumsum tulang belakang melalui permukaan lateral batas antara 2 tulang vertebra yang berdekatan seperti sayap. Saraf spinal diberi nama menurut daerah vertebra di mana saraf tersebut muncul, yaitu: 8 pasang saraf servikalis; 12 pasang saraf torakalis; 5 pasang saraf lumbalis; 5 pasang saraf sakralis; dan 1 pasang saraf koksigeal.
Pada irisan melintang sumsum tulang belakang tampak adanya 2 daerah yaitu substansia kelabu (nampak seperti kupu-kupu) yang dikelilingi oleh substansia putih.
Substansia kelabu terdiri atas badan sel saraf beserta dendritnya, antarneuron pendek, dan sel-sel glial. Pada bagian tengah substansial kelabu terdapat saluran sentral yang berisi cairan serebrospinal. Setiap paroh dari substansia kelabu dibagi menjadi bagian-bagian sebagai berikut:
a. Tanduk belakang, yang pada bagian ini terdapat badan-badan sel saraf interneuron yang akan bersinapsis dengan saraf aferen.
b. Tanduk depan, yang terdapat badan-badan sel saraf eferen yang aksonnya akan menuju ke otot rangka.
c. Tanduk lateral, terdapat badan-badan sel saraf otonom yang menginervasi otot polos, otot jantung, dan kelenjar eksokrin.
Serabut saraf aferen masuk sumsum tulang belakang melalui akar dorsal, sedangkan serabut eferen meninggalkan sumsum tulang belakang melalui akar depan. Badan-badan sel saraf eferen berada di dalam tanduk depan dan mengirim aksonnya ke luar melalui akar ventral. Akar depan dan akar belakang akan bergabung membentuk saraf spinal. Jadi suatu saraf spinal terdiri atas saraf aferen dan saraf eferen yang memanjang mulai dari sumsum tulang belakang ke bagian tubuh tertentu.
Substansia putih diorganisasi menjadi traktus-traktus yang merupakan berkas serabut saraf yang mempunyai fungsi sama.
Traktus tersebut dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Traktus naik yang berfungsi membawa sinyal dari input aferen ke otak.
2. Traktus turun berfungsi membawa sinyal dari otak ke saraf eferen.
31 pasang saraf spinal bersama dengan 12 pasang saraf kranial membentuk sistem saraf tepi. Setelah keluar dari ruas-ruas tulang belakang, saraf spinal bercabang-cabang membentuk suatu jaringan saraf tepi yang berasal atau menuju jaringan tubuh.
Sumsum tulang belakang memiliki 2 fungsi utama, yaitu (1) melayani hubungan informasi antar otak dan tubuh; (2) mengintegrasikan aktivitas refleks antara input aferen dan output eferen tanpa melibatkan otak serta bertanggung jawab mengintegrasikan berbagai refleks dasar.
Suatu refleks adalah setiap respon yang terjadi tanpa disadari. Ada 2 macam refleks, yaitu:
a. Refleks sederhana atau refleks dasar, yang menyatu tanpa dipelajari. Misalnya kedipan mata.
b. Refleks yang dipelajari, yang dihasilkan dari berbuat atau belajar. Misalnya membelokkan setir mobil ketika mau menabrak.
Jalur saraf yang terlibat dalam aktivitas refleks disebut dengan lengkung refleks, yang terdiri atas 5 komponen dasar, yaitu:
1. Reseptor, yang berfungsi merespon stimulus yang merupakan suatu perubahan fisik atau kimia dalam lingkungan reseptor. Dalam merespon stimulus, reseptor menghasilkan suatu potensial aksi.
2. Jalur aferen, berfungsi meneruskan potensial aksi yang dihasilkan oleh reseptor ke pusat pengintegrasian refleks dasar.
3. Pusat pengintegrasi, berfungsi memproses semua informasi yang dapat diperoleh dari reseptor termasuk informasi dari input lain, kemudian membuat suatu keputusan tentang respon yang sesuai.
4. Jalur eferen, berfungsi untuk meneruskan instruksi dari pusat integrasi ke efektor.
5. Efektor, merupakan suatu otot atau kelenjar yang melaksanakan respon yang diinginkan.
Refleks spinal dasar merupakan salah satu refleks yang diintegrasikan oleh sumsum tulang belakang. Oleh karena itu, komponen yang diperlukan untuk emnyambung input aferen ke respon eferen berada dalam sumsum tulang belakang. Contoh dari refleks spinal dasar adalah refleks menarik diri (withdrawal reflex), misalnya refleks menarik tangan ketika menyentuh benda panas.
Refleks menarik diri jika terkena benda panas terjadi karena melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Stimulus yang mengenai jari oleh reseptor panas pada jari diubah menjadi potensial aksi.
b. Potensial aksi akan menstimulus beberapa saraf antarneuron yang selanjutnya menstimulus saraf eferen motorik yang menginervasi trisep, sehingga tangan tertarik menghindar.
c. Potensial aksi pada saat yang sama juga menstimulus antarneuron lain, sehingga menghambat neuron eferen yang menginervasi biseps, sehingga biseps tidak berkontraksi.
d. Potensial aksi juga menstimulus antarneuron yang membawa sinyal ke otak melalui jalur naik. Pada saat impuls mencapai daerah korteks sensori otak, maka orang yang bersangkutan merasa sakit dan baru menyadari apa yang terjadi. Jika impuls mencapai otak, maka informasi dapat disimpan sebagai memori.

F. SISTEM SARAF OTONOM
Sistem saraf otonom terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1. Sistem saraf simpatetik
2. Sistem saraf parasimpatetik
Sistem saraf simpatetik berasal dari dalam sumsum tulang belakang daerah toraks dan daerah lumbar. Olah karena itu sistem saraf simpatetik disebut juga sebagai sistem saraf torako lumbar. Serabut paraganglionik simpatetik sangat pendek, bersinapsis dengan badan sel neuron pascaganglionik dalam ganglia yang terletak dalam suatu rantai ganglion simpatetik yang berada di samping kanan dan kiri sumsum tulang belakang.
Serabut pascaganglionik berasal dari rantai ganglion ini dan berakhir pada organ-organ efektor. Serabut praganglionik parasimpatetik berasal dari daerah cranial dan daerah sacral system saraf pusat. Oleh karena itu sistem saraf parasimpatetik disebut juga sebagai sistem saraf kranio sacral.
Serabut praganglionik simpatetik dan parasimpatetik membebaskan neurotransmitter yang sama, yaitu Asetilkolin, tetapi neurontransmiter pascaganglioniknya berbeda. Serabut pascaganglionik parasimpatetik membebaskan asetilkolin. Serabut saraf yang membebaskan asetilkolin disebut serabut kholinergik. Serabut pascaganglionik simpatetik membebaskan noradrenalin atau norepinefrin. Serabut demikian disebut serabut adregenik.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan "nervus vagus" bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf sumsum sambung.
Di bawah ini merupakan tabel fungsi dari saraf otonom, yaitu sebagai berikut:
Tabel Fungsi Saraf Otonom
Parasimpatik Simpatik
• mengecilkan pupil
• menstimulasi aliran ludah
• memperlambat denyut jantung
• membesarkan bronkus
• menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan
• mengerutkan kantung kemih
1. memperbesar pupil
2. menghambat aliran ludah
3. mempercepat denyut jantung
4. mengecilkan bronkus
5. menghambat sekresi kelenjar pencernaan
6. menghambat kontraksi kandung kemih

Pengaruh Sistem Saraf Otonom
Pada tabel di atas diketahui bahwa kinerja sistem saraf parasimpatetik dan simpatetik saling berlawanan. Keuntungan control yang berlawanan itu adalah memungkinkan mengontrol aktivitas suatu organ secara tepat. Pada umumnya kedua devisi autonom tersebut mengontrol organ secara resiprok, peningkatan aktivitas oleh devisi yang lain. Namun ada beberapa perkecualian dari pola di atas, yaitu:
1. Pembuluh darah (arteriol dan vena), hanya menerima serabut saraf simpatetik. Satu-satunya pembuluh darah yang menerima inervasi simpatetik dan parasimpatetik adalah pembuluh darah yang memasok darah ke penis dan klitoris.
2. Kelenjar keringat, hanya menerima inervasi simpatetik saja.
3. Kelenjar ludah, diinervasi oleh kedua devisi otonomik, tetapi tidak seperti di tempat lain, aktivitas simpatetik dan parasimpatetik tidak antagonistic. Keduanya menstimulus sekresi saliva, tetapi volume dan komposisi saliva berbeda, tergantung devisi mana yang dominan.
4. Medulla adrenal, dipandang sebagai suatu ganglion simpatetik yang dimodifikasi dan tidak memiliki serabut pascaganglionik. Sekresi hormone ke sirkulasi darah distimulasi oleh serabut praganglionik yang berasal dari otak.
Beberapa Tipe Reseptor Protein Membran Plasma
Ada dua macam reseptor asetilkolin, yaitu reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik. Reseptor nikotinik (yang diaktifkan oleh nikotin) ditemukan pada semua ganglion otonomik. Reseptor ini merespon kepada asetilkolin yang dibebaskan oleh serabut praganglionik simpatetik dan parasimpatetik. Sedangkan reseptor muskarinik (yang diaktifkan oleh muskarin, suatu racun jamur) ditemukan pada membrane sel efektor (otot polos, otot jantung, dan kelenjar eksokrin). Reseptor ini akan mengikat Asetilkolin yang dibebaskan oleh serabut pascaganglionik parasimpatetik.
Beberapa refleks otonomik, seperti urinasi, defekasi, dan ereksi, diintegrasi pada tingkat sumsum tulang belakang, tetapi semua dari refleks-refleks spinal ini merupakan subjek untuk dikontrol oleh tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Medulla di dalam batang otak adalah bangian yang paling langsung bertanggung jawab untuk output otonomik. Pusat-pusat control kardiovaskuler, respirasi, dan aktivitas digestif melalui system otonomik berada di medulla.
Hipotalamus memegang peranan penting untuk mengintegrasi respon-respon otonomik, somatic, dan endokrin, misalnya peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dll. Aktivitas otonomik juga dipengaruhi oleh korteks frontalis.
Otot rangka ekstrafusal diinervasi oleh sel-sel saraf α motor, yang aksonnya merupakan system saraf somatic. Sedangkan serabut intrafusal yang merupakan serabut otot penyusun spindle otot diinervasi oleh sel-sel saraf γ motor. Badan sel saraf ini terletak di dalam tanduk ventral sumsum tulang belakang. Akson suatu sel saraf motor langsung dari aslnya di dalam sumsum tulang belakang ke ujungnyadalam otot rangka.
Sel saraf α motor dipengaruhi oleh input prasinaptik konvergen yang banyak, baik eksitatori maupun inhibitori. Beberapa dari input merupakan bagian dari lintasan reflex spinal yang berasal dari reseptor sensori peripheral.
H. Beberapa Penyakit Karena Gangguan Sistem Saraf
Gangguan pada sistem saraf dapat berakibat pada gangguan pola gerak maupun memori seseorang. Contoh penyakit karena gangguan sistem saraf antara lain:
• Alzhaimer, merupakan penyakit akibat gangguan fungsi otak yang ditandai oleh kehilangan memori, pengenalan kepribadian, dan kekuatan mental. Seperti penyakit orang tua pada umumnya, penyakit ini disebabkan oleh atrofi korteks serebral yang atrofi ini disebabkan pula oleh sejenis virus yang memerlukan waktu lama untuk merusak.
• Amnesia, merupakan penyakit gangguan otak dimana penderita kehilangan memori dan diikuti dengan ketidakmampuan membentuk memori baru. Penyebabnya yaitu dapat berupa kecelakaan, stroke, ensefalitis, defisiensi vitamin B12, kanker otak, atau suplai darah yang kurang ke daerah memori, dan sampai alas an psikologikal.
• Ataksia, merupakan gangguan system saraf yang ditandai oleh gangguan koordinasi gerak otot seperti gerakan tubuh yang tidak teratur dan tidak akurat. Penyebabnya adalah setiap kejadian yang mengganggu pusat pengontrol gerak di otak atau jalur saraf yang menuju otak.


DAFTAR RUJUKAN
Anonimus. 2009. Sistem Saraf. (Online), (http://www.e-dukasi.net/sistem saraf _id, diakses tanggal 27 September 2009)
Anonimus. 2001. Sistem Saraf Otonom. (Online), (http--kambing_ui_ac_id-bebas-v12-sponsor-Sponsor-Pendamping-Praweda-Biologi-Image-2-9e_jpg.htm, diakses tanggal 27 September 2009)
Anonimus. 2008. Sistem Saraf Pada Manusia. (Online), (http://www.e-dukasi. net/dlbhnbelajar.php?bhn_id=4&mid=373, diakses tanggal 27 September 2009)
Kimball, J. 2007. Biology. (Online), (http--users_rcn_com-jkimball_ma_ultranet-BiologyPages-A-autonomic_gif.htm, diakses tanggal 27 September 2009)
Phillip, Eric M. 2000. Anatomy Sketches. (Online), (http--www_rsdrx_com-images-AnteriorMusclesSketchLRes_gif_files/Anatomy%2520Sketches.htm, diakses tanggal 27 September 2009)
Tenzer, Amy. dkk. 1993. Struktur Hewan Bagian 1. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.

Selasa, 05 Januari 2010

Proposal konservasi ayam hutan

Tingkah laku hewan merupakan suatu cabang biologi yang berkembang dari fisiologi hewan. Dalam tingkah laku hewan dipelajari tentang kaitan yang kompleks dan vital mengenai hubungan antar anggota spesies dan spesies dengan lingkungannya. Bentuk hubungan tersebut sangat bervariasi, meliputi tingkah laku kawin sampai dengan mempertahankan diri terhadap musuh. Berbagai bentuk hubungan tersebut muncul berupa tingkah laku yang dapat diamati pada individu maupun kelompok (Susilowati, dkk., 2001).
Ada dua macam tingkah laku hewan berdasarkan individu yang terlibat dalam tingkah laku tersebut, yaitu tingkah laku individual dan tingkah laku social. Tingkah laku individual merupakan tingkah laku yang hanya dilakukan oleh satu individu hewan tanpa adanya suatu bentuk kerjasama dengan individu lainnya. Sedangkan tingkah laku social merupakan suatu bentuk kerjasama antara dua atau lebih individu yang terlibat (Susilowati, dkk., 2001).
Perkembangan IPTEK menyebabkan manusia mampu mengubah kondisi lingkungan sesuai dengan yang dikehendaki, sehingga mereka dapat dengan mudah mengeksplorasi, mengolah, dan memanfaatkan segala sesuatu yang terdapat dilingkungan untuk memenuhi kepentingan dan keperluan hidupnya. Peningkatan kemajuan IPTEK berdampak positif terhadap peningkatan jumlah populasi manusia di bumi, yang sudah pasti juga memerlukan sumberdaya alam (SDA) biotik maupun abiotik yang semakin besar pula. Seiring dengan peningkatan pemanfaatan SDA, menyebabkan semakin menciutnya luas lingkungan alami dan meluasnya lingkungan binaan manusia (Dharmawan, dkk., 2005).
Pada masa kini, akibat eksplorasi SDA yang tidak bertanggungjawab menyebabkan terjadinya kelangkaan dan kepunahan spesies-spesies organisme serta terjadi perubahan pola cuaca dan iklim. Menurut Dharmawan, dkk. (2005), saat ini kita dihadapkan oleh 2 tantangan dan urgensi untuk menjamin keberlanjutan sejumlah besar spesies hewan, yaitu:
1) Menjaga kelestarian ketersediaan dari sumberdayanya
2) Memelihara kondisi lingkungan hidupnya
Ayam hutan (Gallus sp) merupakan kekayaan alam Indonesia yang keberadaannya saat ini terancam punah. Beberapa tahun lalu harga seekor ayam hutan tidak sebanding dengan usaha penangkapannya. Pekerjaan yang dahulu hanya iseng-iseng, sekarang menjadi semiprofesional, sebagai akibatnya populasi beberapa spesies ayam hutan di pulau Jawa terus menurun. Selain itu, ayam hutan yang dijual di pasar ketika sampai ke tangan pembeli atau pemelihara, biasanya tidak akan berumur panjang. Hanya beberapa hari berada di rumah, ayam hutan ketakutan untuk bertelur, luka pada sayap dan kepala, tidak mau makan dan akhirnya mati. Hal tersebut semakin membuat populasi beberapa spesies ayam hutan semakin berkurang dan langka (Mufarid, 1997).
Di Indonesia terdapat dua spesies ayam hutan, yaitu ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Saat ini, spesies ayam hutan merah sangat langka bahkan hampir punah. Sedangkan spesies ayam hutan hijau (Gallus varius) masih cukup banyak ditemukan di hutan pulau Jawa. Jumlah ayam hutan yang semakin berkurang tersebut disebabkan karena aktivitas reproduksi ayam hutan sangat rendah dibandingkan dengan usaha perburuan dan penangkapan ayam hutan secara liar. Selain itu, kondisi lingkungan yang berubah menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan ayam hutan untuk melakukan aktivitas reproduksi. Padahal, aktivitas reproduksi merupakan factor penting dalam usaha mempertahankan keturunan dan keberadaan jenisnya di alam.
Untuk mengantisipasi punahnya spesies ayam hutan, telah dilakukan usaha pelestarian ayam hutan (Gallus sp) melalui upaya penangkaran. Namun, upaya tersebut kurang berhasil untuk memperbanyak jumlah ayam hutan. Ayam hutan di tempat penangkaran banyak yang stress dan akhirnya mati, sehingga diperlukan solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu solusi tersebut yaitu dengan melakukan pengkajian yang mendalam tentang kehidupan ayam hutan di habitat aslinya, terutama tingkah laku ketika melakukan reproduksi dan kondisi lingkungan yang sesuai untuk melakukan reproduksi.
Aktivitas reproduksi merupakan salah satu contoh dari tingkah laku social. Reproduksi pada makhluk hidup merupakan suatu proses alam dalam usaha mempertahankan keturunan dan keberadaan jenis suatu organisme di alam. Ada dua cara berbeda pada makhluk hidup dalam membentuk keturunan, yaitu reproduksi secara seksual dan secara aseksual. Reproduksi seksual terjadi karena bertemunya gamet jantan (sperma) dengan garnet betina (sel telur) dalam suatu proses pembuahan (fertilisasi), sedangkan pada reproduksi aseksual, keturunan yang terbentuk tanpa melalui proses pembuahan (Kimball, 1994).
Tingkah laku reproduksi merupakan keseluruhan tingkah laku yang muncul dan divisualisasikan oleh semua organisme pada saat terjadi aktivitas reproduksi, mulai dari tingkah laku peminangan sampai dengan tingkah laku memelihara dan menjaga anak. Tingkah laku reproduksi pada setiap organisme berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan organisme yang terlibat. Menurut Dharmawan, dkk. (2005), tingkah laku reproduksi juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk adaptasi, karena hewan-hewan tertentu hanya melakukan aktivitas reproduksi pada waktu-waktu tertentu. Misalnya aktivitas reproduksi pada burung penguin. Penguin melakukan aktivitas reproduksi menjelang musim dingin. Sebelum musim dingin tiba, penguin melakukan aktivitas kawin. Setelah bertelur, telur akan dierami oleh induk jantan selama musim dingin. Telur akan menetas setelah musim dingin selesai dan berganti menjadi musim panas. Tingkah laku reproduksi tersebut bertujuan untuk kelestarian anak-anak yang menetas, karena pada musim dingin makanan sulit dicari.
Menurut Susilowati, dkk. (2001), rangkaian proses reproduksi merupakan contoh dari efek aksional karena adanya interaksi antara tingkah laku, hormone dan stimulus lingkungan yang spesifik. Pernyataan ini dijelaskan pada proses reproduksi burung puter. Proses reproduksi diawali dari siklus reproduksi yang distimulus oleh hormone. Sekresi hormone pada burung puter jantan dan betina menyebabkan pematangan dan perkembangan gonad untuk siap melakukan fertilisasi. Selanjutnya terjadi tingkah laku peminangan yang dilakukan oleh burung puter jantan. Apabila burung puter betina menerima, maka akan terjadi kopulasi. Selanjutnya kedua burung puter menyempurnakan pembuatan sarang untuk meletakkan telur. Kehadiran sarang dan telur merupakan stimulus sekresi hormone dan tingkah laku yang berbeda. Setelah telur menetas, terjadi tingkah laku pemeliharaan dan penjagaan anak. Jadi, suatu pola tingkah laku reproduksi yang muncul bukanlah merupakan suatu kejadian yang sederhana, melainkan suatu kejadian interaksi yang kompleks antara factor internal dengan factor eksternal.
Menurut Susilowati, dkk. (2001), ada beberapa tahapan yang terjadi dalam tingkah laku kawin, yaitu:
a) Kebersamaan atau sinkronisasi, merupakan tahapan dimana terjadi kesesuaian antara pemasakan gonad pada individu jantan dan betina untuk melakukan fertilisasi. Apabila fertilisasi terjadi secara eksternal, maka pengeluaran telur dan sperma harus dalam waktu yang bersamaan. Tetapi apabila fertilisasi terjadi secara internal, maka waktu kopulasi dan pengeluaran sperma harus bersamaan dengan ovulasi sel telur.
b) Pemilihan waktu, diartikan bahwa terjadinya kerjasama antara hewan jantan dan betina harus terjadi pada waktu yang tepat. Pada tahapan ini, komunikasi dan sinyal harus terjadi antara kedua individu jantan dan betina agar terjadi fertilisasi.
c) Bujukan dan penentraman, yaitu tahapan dimana hewan jantan melakukan suatu gerakan yang menjadi stimulus bagi hewan betina untuk mengikuti hewan jantan ke sarangnya.
d) Orientasi atau arah, merupakan suatu hal yang berkaitan dengan daya tarik suatu hewan terhadap pasangannya. Orientasi sangat diperlukan dalam tingkah laku kawin untuk menentukan pasangan. Daya tarik yang dimiliki oleh hewan dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu berupa suara, bau dan visual.
e) Isolasi reproduksi, yaitu setiap spesies hewan memiliki perbedaan dalam tingkah laku kawin dan sinyal, sehingga hibridisasi di alam sangat jarang terjadi.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2006. Gallus varius. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Stavenn_Gallus_varius_00.jpg, diakses tanggal 5 November 2009)
Anonim. 2009. Ayam Hutan Ragam Jenis dan Penyebarannya. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Ayam_hutan#Ragam_jenis_dan_Penyebaran, diakses tanggal 5 November 2009)
Anonim. 2009. Telur Ayam Hutan. (Online), (http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://forum.kompas.com/members/anonymous-albums-road-selayar-part-ii-picture5540-telur-ayam-hutan.jpg&imgrefurl=http://forum.kompas.com/members/anonymous-albums-road-selayar-part-ii-picture5540-telur-ayam-hutan.html&usg=__065e99Jp1WnfRXxYgU73Rq0G34M=&h=450&w=600&sz=34&hl=id&start=1&itbs=1&tbnid=S5WvaDoJm5pEbM:&tbnh=101&tbnw=135&prev=/images%3Fq%3Dtelur%2Bayam%2Bhutan%26gbv%3D2%26hl%3Did, diakses tanggal 10 November 2009)
Baskoro. 2007. Ayam Hutan Hijau. (Online), (http://www.bio.undip.ac.id/sbw/index.htm, diakses tanggal 5 November 2009)
Dharmawan, Agus, dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang: UM PRESS
Kimball, J.W. 1994. Biologi. Jakarta: Erlangga
MacKinnon, J. 1993. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali. Jogyakarta: Gadjah Mada University Press
Mufarid. 1997. Pelestarian Ayam Hutan. (Online), (http://peternakan.litbang.deptan.go.id/?q=node/37, diakses tanggal 5 November 2009)
Susilowati, dkk. 2001. Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM

Tingkah laku makan kelelawar vampir

Desmodus rotundus merupakan salah satu dari 3 jenis kelelawar yang menghisap darah. Desmodus rotundus menghisap darah hewan ternak dan sangat jarang menghisap darah manusia. Meskipun ukuran tubuh kecil dengan panjang tubuhnya 3 inchi, berat badannya 1 ons, dan panjang sayap 8 inchi. Desmodus rotundus sangat rakus dalam menghisap darah korban sampai 30 menit tanpa berhenti (Davidson, 2001).
Desmodus rotundus memiliki rumus gigi I 2/2, C 1/1, P 2/2, dan M 3/3 (Suyanto, 2001). Permukaan gigi memiliki tonjolan yang runcing. Desmodus rotundus menghisap darah mangsa ketika mangsa tidur dan sangat jarang sampai membuat mangsanya bangun. Gigi yang dimiliki oleh kelelawar vampire sangat tajam, sehingga ketika melakukan gigitan tidak terasa sakit. Ada beberapa tahapan tingkah laku makan dari Desmodus rotundus, yaitu menyeleksi mangsa, menjilat bagian yang akan digigit, membersihkan rambut di tempat yang akan digigit, dan menggigit kulit mangsa (Marfu’ah, 2007).
Desmodus rotundus menemukan keberadaan mangsanya, dengan cara echolocation, yaitu dengan menggunakan gema (pantulan suara) yang berfrekuensi tinggi. Selain itu, mangsa juga dapat diketahui dari panas tubuh dan dari desahan nafas mangsanya. Desmodus rotundus mengintai mangsanya sampai mangsanya tidur. Setelah mangsanya tidur, Desmodus rotundus akan naik ke tubuh mangsa menggunakan cakar ibu jari dan menentukan bagian yang akan digigit.
Setelah bagian yang akan digigit ditentukan, Desmodus rotundus membasahi bagian yang akan digigit menggunakan air liur dengan cara menjilati bagian tersebut. Cara ini dilakukan untuk memudahkan membersihkan bagian yang akan digigit dari rambut penutup kulit.
Desmodus rotundus mencukur rambut pada bagian yang akan digigit menggunakan gigi seri. Cara ini dilakukan ketika mangsanya adalah hewan yang memiliki penutup kulit berupa rambut. Tingkah laku mencukur atau membersihkan kulit tersebut bertujuan supaya ketika darah mengalir keluar, Desmodus rotundus dapat dengan mudah menjilatinya.
Tahapan terakhir yaitu menggigit kulit mangsa sampai menembus sistem sirkulasi darah (kurang lebih 3 inchi). Ketika menggigit mangsanya, Desmodus rotundus juga mengeluarkan suatu kandungan senyawa kimia di air liurnya (saliva). Senyawa kimia tersebut bersifat sebagai antikoagulan yang disebut draculin. Namun dari sumber lain, senyawa kimia yang terkandung pada saliva Desmodus rotundus berupa enzim bernama Desmoteplase (DSPA) (Davidson, 2001) . Fungsi enzim ini untuk mengencerkan darah mangsa sewaktu digigit agar mengalir deras hingga mudah diisap. Oleh karena itu, Desmodus rotundus bisa terus-menerus menjilati darah mangsanya tanpa berhenti.

DAFTAR RUJUKAN
Davidson. 2001. Habitat and Habitat Utilization by the Common Vampire Bat. (Online), (http--www_bio_davidson_edu-people-vecase-behavior-Spring2001-Kizer-vampire2a_jpg.htm, diakses tanggal 7 November 2009)
Drew K. 2001. Vampire Bat. (Online), (http://thewildones.org/Animals/vampire.html, diakses tanggal 7 November 2009)
Marfu’ah, Nurul. 2007. Kelelawar Vampir. Malang: Komunikasi
Suyanto, Agus. 2001. Kelelawar di Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi - LIPI

Peranan hormon Ghrelin terhadap homeostasis energi

Di dalam tubuh manusia selalu terjadi mekanisme homeostasis yang merupakan pengaturan dan pemeliharaan lingkungan internal agar relative konstan dalam batas-batas tertentu (Soewolo, dkk., 2003). Homeostasis energi merupakan keadaan dimana terjadi keseimbangan antara pemasukan energi dan pengeluaran energi melalui pengaturan perilaku dan nafsu makan. Pemasukan energi berasal dari asupan makanan yang kita makan setiap hari, sedangkan pengeluaran energi melalui pemakaian untuk metabolisme sel, termogenesis, dan aktivitas fisik (Meutia, 2005).
Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan penting dalam mekanisme homeostasis energi. Homeostasis energi di dalam hipotalamus diatur oleh sistem neuropeptida sentral. Sistem neuropeptida sentral yang terlibat yaitu peptide anabolik seperti Neuropeptida Y (NPY) dan Agouti-related protein (AgRP), yang berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan sekaligus menurunkan pemakaian energi, serta pro-opiomelanocortin (POMC), yang berfungsi untuk menekan nafsu makan. NPY dan AgRP dengan POMC bekerja berlawanan. Apabila neuron NPY teraktivasi, maka menyebabkan POMC mengalami inhibisi dan nafsu makan meningkat. Sebaliknya, apabila neuron POMC teraktivasi, maka NPY dan AgRP mengalami inhibisi, sehingga nafsu makan ditekan. Untuk kelangsungan fungsinya tersebut, hipotalamus menerima masukan neural, endokrin serta sinyal metabolik. Hipotalamus selanjutnya mengintegrasikan sinyal tersebut menggunakan berbagai jalur efektor untuk menimbulkan respon perilaku, otonom dan endokrin. Selain hipotalamus, pusat pengaturan nafsu makan dan keseimbangan energi juga melibatkan sistem saraf yang meliputi batang otak, korteks serebri, dan area olfaktori. Sinyal-sinyal dari perifer dapat sampai ke hipotalamus melalui 2 cara, yaitu:
a) Melalui sirkulasi darah. Bagi sinyal metabolik dan hormon dapat melalui blood-brain barier.
b) Melalui persarafan. Bagi sinyal mekanik dan kimia dari organ visera dan saluran cerna, sinyal dapat disampaikan ke otak melalui serat aferen n.vagus dan serat aferen simpatis tingkat servikal, yang diintegrasikan terlebih dahulu di nucleus traktus solitarius (Cowley, dkk., 2003).
Hormon ghrelin pertama kali dipublikasikan oleh Kojima dkk, sebagai ligan endogen untuk growth hormone secretagogue receptor (GHS-R). Nama ghrelin berasal dari gabungan kata “GH” dan “relin” yang berarti zat pelepas growth hormone. Ghrelin memiliki 28 rantai asam amino, merupakan peptide alami yang memiliki satu ester n-octanoyl pada residu serine-3. Ghrelin paling banyak diproduksi dan disekresikan oleh X/A-like cells di dalam kelenjar oxyntic mukosa yang tersebar di lambung (Meutia, 2005). Menurut Bulent, dkk.(2004), ghrelin tidak hanya dihasilkan oleh lambung, melainkan juga dihasilkan oleh testis, plasenta, ginjal, hipofisis, usus halus, pankreas, dan bagian hipotalamus. Namun, sumber terbanyak ghrelin berasal dari lambung.
Ghrelin menghasilkan efek stimulasi makan yang lebih kuat dari peptide oreksigenik lain, misalnya leptin, insulin, dan kolesistokinin. Sekresi ghrelin meningkat apabila kondisi keseimbangan energi negatif, misalnya pada saat kelaparan, insulin-induced hypoglycemia dan anoreksia nervosa. Namun, ketika keseimbangan energi dalam keadaan positif, kadar ghrelin akan menurun (Maria, 2006).
Menurut Cowley, dkk. (2003), mekanisme ghrelin dalam meningkatkan nafsu makan melalui pusat makan di hipotalamus adalah sebagai berikut:
 Ghrelin yang berasal dari lambung dapat mencapai hipotalamus melalui sirkulasi darah, dan melalui serat aferen n.vagus yang menginervasi mukosa lambung. Pengikatan ghrelin dilakukan oleh reseptor yang terdapat di terminal akson n.vagus, menyebabkan berkurangnya lepas muatan n.vagus. sinyal muatan ini selanjutnya dibawa oleh Nucleus Traktus Solitaries (NTS) menuju ke hipotalamus.
 Sedangkan neuron-neuron penghasil ghrelin yang terdapat di sekitar ventrikel ketiga, diantara nucleus dorsal, ventral, paraventrikular dan arkuatus hipotalamus memiliki eferen yang secara langsung berhubungan dengan bagian yang memproduksi NPY, AgRP, POMC, dan corticotrophin-releasing hormone.
 Peningkatan kadar ghrelin menyebabkan meningkatnya ekspresi mRNA untuk NPY dan AgRP, sehingga kadar NPY dan AgRP meningkat yang menghasilkan efek meningkatnya nafsu makan.
 Selain meningkatkan aktivitas spontan dari neuron NPY, ghrelin juga menginhibisi neuron POMC yang menyebabkan menurunnya kerja penekan nafsu makan.
Menurut penelitian Dagher dalam Hadi (2009), konsumsi jenis makanan sangat berpengaruh terhadap kadar ghrelin. Konsumsi lemak menyebabkan terjadinya peningkatan cepat kadar ghrelin, sehingga menstimulus pusat lapar. Konsumsi protein menyebabkan kadar ghrelin menjadi turun secara perlahan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan konsumsi karbohidrat menyebabkan pada awal mengkonsumsi, kadar ghrelin rendah, namun tidak berapa lama terjadi peningkatan kadar ghrelin yang sangat signifikan.
Konsumsi lemak menyebabkan kadar ghrelin meningkat karena hormon ghrelin sendiri dihasilkan melalui proses alkilasi (penambahan suatu asam lemak) oleh enzim spesifik (ghrelin O-acyl transferase atau GOAT). GOAT diproduksi ketika kita berpuasa atau ketika kita sedang tidak makan. Asam lemak yang berfungsi pada proses alkilasi berasal dari lemak yang kita konsumsi (Hadi, 2009). Sehingga, apabila kita mengkonsumsi lemak, berarti kita juga menstimulus ghrelin untuk aktif. Jadi, apabila kita ingin melakukan program diet dan berhasil, makanan yang kita konsumsi harus mengandung protein tinggi, rendah lemak dan karbohidrat.

Habituasi pada cacing tanah

Cacing tanah termasuk dalam Filum Annelida kelas Oligochaeta yang memiliki ciri-ciri tubuh bersegmen, simetri bilateral, tubuh berongga (memiliki selom) yang berisi cairan yang membantu pergerakan. Cacing tanah sudah memiliki saluran pencernaan yang lengkap, system peredaran darah tertutup, dan system saraf tangga tali (Riyanto, 2005). Permukaan tubuh cacing tanah berwarna merah sampai biru kehijauan. Bentuk tubuh panjang silindris, dengan 2/3 bagian posteriornya sedikit memipih kearah dorsoventral. Permukaan bagian bawah berwarna lebih pucat, umumnya berwarna merah jambu dan kadang-kadang putih (Kastawi, 2003).
Annelida mempunyai system saraf yang berkembang baik, terdiri atas neuron aferen (sensorik) dan neuron eferen (motorik) yang jelas. Pada ujung anterior, tali syaraf ventral terbagi (bercabang-cabang) dan menuju ke atas di sekeliling saluran pencernaan untuk bersatu dengan otak yang terdiri atas dua bagian. Dalam tiap segmen tali saraf yang rangkap terdapat suatu ganglion rangkap, masing-masing dengan dua pasang saraf (Soebiyanto, 1993).
Habituasi merupakan bentuk belajar sederhana yang ditemukan hampir pada semua spesies hewan. Pada hewan, tingkah laku belajar tersebut berupa tingkah laku yang dapat mengalami modifikasi sebagai akibat dari pengalaman individu. Bentuk belajar sederhana adalah respon bersyarat (Susilowati dan Rahayu, 2007).
Menurut Drickamer (2002), habituasi adalah tidak berpengaruhnya suatu respon terhadap individu karena pengulangan respon tidak menimbulkan reinforcement. Reinforcement adalah semua hal yang mengubah semua kemungkinan dari tingkah laku hewan. Reinforcement dapat negative maupun positif.
Dalam eksperiment ini masih menurut Drickamer (2002), berkurangnya suatu respon terhadap stimulus bisa terjadi selain karena habituasi juga dapat terjadi karena kelelahan jika stimulus terjadi secara berulang.
Habituasi dan respon bersarat pada dasarnya adalah sama, yaitu respon yang diberikan merupakan hasil dari pengalaman. Kebiasaan itu sendiri merupakan respon yag dipelajari secara berulang sehingga menjadi otomatis. Perbedaan antara kebiasaan dan respon bersarat antara lain yaitu:
1) Pada kebiasaaan biasanya lebih kompleks dalam hal melibatkan urutan aksi secara menyeluruh, dalam arti bahwa setiap bagian dari urutan kejadian merupakan respon bersyarat. Dalam arti satu bagian dari suatu respon merupakan stimulus untuk respon berikutnya.
2) Kebiasaan tidak diperoleh secara pasif, artinya bahwa hewan berpartisipasi secara aktif dalam perkembangan kebiasaan (Drickamer, 1984 dalam Susilowati dan Rahayu, 2002).
Jadi, dapat dikatakan bawa habituasi dapat merupakan rangkaian dari stimulus-respon-stimulus-respon, dan seterusnya. Pada suatu saat tertentu bila stimulus yang diberikan berulang-ulang, kemungkinan akan terjadi hewan tidak akan meresponnya. Hal tersebut terjadi karena kelelahan dan adaptasi, akan tetapi tidak sama dalam hal proses terjadinya kelelahan dan adaptasi tersebut. Kelelahan terjadi karena system saraf tidak lagi dapat menerima dan merespon stimulus yang datang mengenai system saraf tepi (Soebiyanto, 1993). Sedangkan adaptasi merupakan serangkaian kegiatan tingkah laku yang dilakukan oleh individu untuk bertahan pada suatu lingkungan yang baru.

PEMBAHASAN
System saraf cacing tanah berupa system saraf tangga tali. Dari timer dan ketukan pada cawan petri, selain menimbulkan bunyi, juga menimbulkan suatu getaran. Stimulus yang berupa getaran tersebut selanjutnya diterima oleh organ reseptor epidermal yang terletak pada sisi ventral maupun sisi lateral tubuh cacing. Reseptor epidermal tersebut merupakan bagian dari system saraf tepi. Stimulus yang diterima oleh reseptor epidermal pada cacing selanjutnya diubah menjadi impuls saraf dan diteruskan oleh neuron aferen (sensorik) menuju ke bagian otak. Setelah sampai di otak impuls saraf akan diterjemahkan, dan diterima oleh saraf eferen (motorik), gerak akan terjadi sebagai respon dari stimulus yang diterima.
Pemberian stimulus yang dilakukan berulang-ulang, menimbulkan impuls saraf yang diterima oleh reseptor epidermal untuk diubah menjadi impuls saraf terjadi secara terus-menerus. Sehingga, energy yang dibutuhkan caing banyak, apabila energy yang dibutuhkan kurang, maka hal itu menyebabkan system saraf pada cacing mengalami kelelahan, yang pada akhirnya system saraf tidak mampu lagi untuk menerima, mengubah, dan memberikan respon terhadap stimulus yang diterima oleh reseptor. Hal itulah yang menyebabkan, pemberian stimulus pada cacing tanah yang kolaps tidak menghasilkan suatu respon apapun dan cacing hanya diam saja.
Pemberian perlakuan setelah mengistirahatkan cacing selama 24 jam, pada umumnya respon yang diberikan cacing ketika menerima stimulus adalah sama dengan respon yang terjadi pada hari pertama. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk tidak merespon stimulus getaran menjadi lebih singkat dari pada hari pertama. Hal ini terjadi karena cacing memiliki “memori” terhadap habituasi hari pertama. “Memori” pada cacing tanah didapat dari stimulus yang diterima oleh reseptor epidermal kemudian diubah menjadi impuls saraf untuk diteruskan ke otak. Ketika impuls saraf sampai di otak, impuls tersebut diterjemahkan dan selanjutnya terjadi perintah untuk melakukan gerakan sebagai bentuk respon sesuai dengan stimulus yang diterima. Selain menterjemahkan dan memberikan perintah untuk menanggapi respon dengan gerakan, ganglion di otak juga menyimpan impuls saraf beserta dengan jawaban/ pesan gerakan sebagai respon. Sehingga ketika ada stimulus yang sama, maka otak langsung memberikan perintah untuk melakukan gerakan yang sama dengan memori yang tersimpan pada ganglion otak. Jadi, uji memori yang dilakukan pada cacing tanah sebagian besar menunjukkan hasil yang positif, karena system saraf pada cacing tanah sudah berkembang baik.

DAFTAR RUJUKAN
Drickamer, Leel. 2002. Animal Behaviour. New York: Mc Graw- Hill Higler Education
Kastawi, Yusuf. 2003. Zoologi Avertebrata. Malang: FMIPA UM
Riyanto, Sugeng. 2005. Filum Annelida. (Online), (http://www.ziddu.com/download/3144228/ filum Annelida.doc.html, diakses tanggal 23 Oktober 2009)
Soebiyanto. 1993. Fisiologi Hewan. Malang: IKIP Malang
Susilowati, Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM

Komunikasi kimiawi pada cacing tanah

Cacing tanah termasuk dalam Filum Annelida kelas Oligochaeta yang memiliki ciri-ciri tubuh bersegmen, simetri bilateral, tubuh berongga (memiliki selom) yang berisi cairan yang membantu pergerakan. Cacing tanah sudah memiliki saluran pencernaan yang lengkap, system peredaran darah tertutup, dan system saraf tangga tali (Riyanto, 2005). Permukaan tubuh cacing tanah berwarna merah sampai biru kehijauan. Bentuk tubuh panjang silindris, dengan 2/3 bagian posteriornya sedikit memipih kearah dorsoventral. Permukaan bagian bawah berwarna lebih pucat, umumnya berwarna merah jambu dan kadang-kadang putih (Kastawi, 2003).
Cacing tanah memiliki organ sensorik yang berkembang baik dan memiliki struktur sederhana. Struktur organ tersebut terdiri dari sel tunggal atau kelompok yang khusus terdapat pada sel ektodermal. Terdapat 3 tipe organ sensorik pada cacing tanah, yaitu reseptor epidermal, reseptor buccal yang terdapat pada rongga mulut dan reseptor cahaya (Susilowati dan Rahayu, 2007: 1).
Reseptor epidermal dan reseptor buccal merupakan organ yang merespon stimulus kimiawi. Reseptor epidermal terdistribusi pada bagian epidermis, terutama pada sisi lateral dan pemukaan ventral tubuh. Sedangkan reseptor buccal terletak dirongga mulut, organ ini berfungsi untuk merespon stimulus kimia yang berasal dari makanan (Koptal, dkk., dalam Susilowati dan Rahayu, 2007: 1).
Cacing tanah menghasilkan cairan mukus yang dihasilkan oleh kelenjar mucus epidermal. Cairan mucus memiliki banyak fungsi, fungsi yang utama yaitu untuk menjaga kelembaban tubuh. Pertukaran gas O2 dan CO2 pada cacing tanah terjadi melalui difusi pada permukaan tubuhnya, kondisi permukaan tubuh yang lembab membantu cacing tanah untuk lebih mudah mengikat oksigen dari lingkungan dan berdifusi masuk ke dalam tubuh, sedangkan karbondioksida diikat untuk dikeluarkan dari tubuh. Selain itu, cairan mucus juga berfungsi untuk membantu pergerakan cacing tanah. Karena kondisi tanah yang lembab dan licin menyebabkan cacing tanah lebih mudah untuk bergerak dan mendeteksi keadaan sekitar, misalnya kondisi pH lingkungan. Cairan mucus pada cacing tanah juga berfungsi sebagai sarana komunikasi cacing tanah, misalnya digunakan untuk menunjukkan suatu tempat dan berperan ketika cacing tanah mencari pasangan untuk melakukan proses reproduksi (Riyanto, 2005).
Alat komunikasi lain dari cacing tanah adalah cairan selom yang dihasilkan oleh korpuskula selom. Cairan selom bersifat alkaline, tidak berwarna, mengandung air, garam, dan beberapa protein (Koptal, dkk., 1980 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007: 1). Diduga cairan selom ini dihasilkan oleh sel kloragogen yang berfungsi mengekskresikan produk dari cairan selom. Senyawa kimia ini berfungsi sebagai alat komunikasi dan dapat bertahan aktif pada suatu tempat dalam waktu yang lama. Selain itu, sifat dari senyawa tersebut sangat spesifik dan karena setiap cacing memiliki kemoreseptor yang sangat sensitif, maka senyawa tersebut dapat dideteksi oleh cacing tanah jenis lain dengan mudah (Price, 1975 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007: 1).

PEMBAHASAN
1. Respon cacing tanah terhadap larutan garam dapur 5% dan 10%
Berdasarkan data hasil pengamatan, pada larutan garam 5% semua spesies cacing tanah (cacing merah dan cacing hitam) memberikan respon positif, yaitu terus melewati kertas tissue yang dibasahi dengan larutan garam 5%. Sedangkan respon sebaliknya terjadi pada larutan 10%, yaitu semua spesies cacing tanah memberikan respon negative yang berarti bahwa ketika bagian anterior cacing tanah menyentuh kertas tissue yang dibasahi dengan larutan garam 10% cacing tanah langsung berbalik arah menjauhi kertas tissue tersebut.
Stimulus berupa larutan garam tersebut diterima oleh organ sensorik cacing tanah melalui reseptor epidermal yang terletak pada sisi ventral maupun sisi lateral tubuh cacing. Reseptor epidermal tersebut merupakan bagian dari system saraf tepi. Stimulus yang diterima oleh reseptor epidermal pada cacing tanah akan diteruskan ke seluruh bagian tubuh. Jadi, jika ada stimulus yang mengenai bagian tertentu dari cacing tanah, maka respon akan dilakukan oleh semua bagian tubuh.
Pada larutan garam dengan konsentrasi 5%, cacing memberikan respon yang positif, yaitu terus bergerak melewati stimulus. Hal ini menandakan bahwa pada konsentrasi 5% larutan garam, tidak mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh cacing tanah, sehingga tidak terjadi respon kimiawi di dalam tubuh cacing yang dapat memicu timbulnya mekanisme homeostatis. Berbeda dengan respon yang terjadi pada larutan garam dengan konsentrasi 10%, cacing tanah memberikan respon negative dengan cara menarik bagian anterior dan bergerak menjauhi kertas tissue yang dibasahi larutan garam 10%. Hal ini terjadi karena cairan di luar tubuh cacing lebih pekat dari pada cairan intrasel cacing. Sehingga, dapat mengakibatkan cairan intrasel berdifusi keluar tubuh. Oleh karena itu, ketika reseptor epidermal menangkap stimulus tersebut, maka langsung terjadi respon kimiawi negative dari seluruh bagian tubuh cacing. Jadi, dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan garam, maka semakin kecil juga kemungkinan cacing tanah untuk memberikan respon, dan hal itu berlaku untuk semua jenis cacing (cacing merah dan cacing hitam).
Berdasarkan uji Chi Square (X2), pada larutan garam dengan konsentrasi 5%, baik cacing tanah spesies A maupun cacing tanah spesies B semuanya memberikan respon yang positif dan mampu melewati kertas tissue yang dibasahi dengan larutan garam tersebut. Sedangkan pada larutan garam konsentrasi 10%, cacing tanah spesies A maupun spesies B memberikan respon negative dan tidak mampu melewati kertas tissue yang dibasahi dengan larutan garam konsentrasi 10%. Hal ini membuktikan bahwa komunikasi kimiawi cacing tanah terhadap larutan garam bergantung pada tingkat konsentrasi dari larutan garam.

2. Respon cacing tanah terhadap cairan mucus
Berdasarkan data hasil pengamatan respon cacing terhadap cairan mucus, diketahui bahwa kedua jenis cacing tanah (cacing merah dan cacing hitam) memberikan respon yang positif terhadap cairan mucus cacing B.
Cairan mukus pada cacing tanah dihasilkan oleh kelenjar mucus epidermal yang berfungsi untuk menjaga kelembaban tubuh. Pertukaran gas O2 dan CO2 didalam tubuh cacing tanah terjadi melalui difusi pada permukaan tubuhnya, kondisi permukaan tubuh yang lembab membantu cacing tanah untuk lebih mudah mengikat oksigen dari lingkungan dan berdifusi masuk ke dalam tubuh, sedangkan karbondioksida diikat untuk dikeluarkan dari tubuh. Selain itu, cairan mucus juga berfungsi untuk membantu pergerakan cacing tanah. Karena kondisi tanah yang lembab dan licin menyebabkan cacing tanah lebih mudah untuk bergerak dan mendeteksi keadaan sekitar, misalnya kondisi pH lingkungan. Cairan mucus pada cacing tanah juga berfungsi sebagai sarana komunikasi cacing tanah, misalnya digunakan untuk menunjukkan suatu tempat dan berperan ketika cacing tanah mencari pasangan untuk melakukan proses reproduksi.
Cairan mucus yang dikeluarkan oleh cacing tanah memiliki sifat yang spesifik. Namun, karena setiap cacing memiliki kemoreseptor yang sangat sensitive, maka senyawa yang dihasilkan oleh cacing lain dapat dideteksi dengan mudah. Sehingga, cacing yang sama spesies maupun yang berbeda spesies dapat mengikuti arah pergerakan yang ditandai dengan cairan mucus. Akan tetapi, pada saat cacing tanah mencari pasangan untuk reproduksi, cairan mucus yang dikeluarkan memiliki komposisi senyawa kimia yang lebih spesifik dan berbeda dengan komposisi cairan mucus sebagai penanda suatu tempat, sehingga hanya cacing tanah sejenis yang akan tertarik dan mengikutinya.
Berdasarkan uji Chi Square (X2), membuktikan bahwa pada kedua jenis cacing tanah A maupun cacing tanah B memberikan respon yang positif. Jadi, respon kimiawi melalui cairan mucus juga terjadi antar spesies cacing tanah.

3. Respon cacing tanah terhadap cairan selom
Berdasarkan data pengamatan, cacing tanah spesies A memberikan respon yang positif terhadap cairan selom cacing A, sedangkan cacing B memberikan respon yang negative terhadap cairan selom cacing A, hanya 1 ekor cacing B yang memberikan respon positif.
Cairan selom dihasilkan korpuskula selom yang didistribusikan oleh sel-sel Kloragogen. Cairan selom ini bersifat alkali, tidak berwarna mengandung air, garam dan beberapa protein. Sifat alkali yang terdapat pada cairan selom ini berfungsi sebagai racun yang berfungsi untuk perlindungan diri cacing tanah ketika merasa terancam. Sehingga, cairan selom dikeluarkan hanya pada saat cacing tanah merasa terancam atau ada gangguan yang mengenai permukaan tubuh cacing, misalnya pada perlakuan dengan kejutan listrik. Kejutan listrik yang diberikan tersebut merupakan stimulus yang kemudian ditangkap oleh reseptor epidermal sebagai suatu bentuk ancaman, sehingga sel Kloragogen dengan cepat mendistribusikan cairan selom untuk melindungi permukaan tubuh. Ketika cairan selom dikeluarkan dari tubuh cacing tanah, cairan ini berfungsi sebagai penanda adanya bahaya. Cairan ini dapat bertahan aktif pada suatu tempat dalam waktu yang lama, sehingga semua jenis cacing dapat mendeteksi adanya bahaya dari senyawa aktif tersebut karena memiliki kemoreseptor yang sangat sensitive di seluruh permukaan tubuh.
Jadi, seharusnya dari percobaan dengan cairan selom ini, semua jenis cacing tanah baik cacing tanah spesies A maupun cacing tanah spesies B memberikan respon yang negative terhadap cairan selom. Kemungkinan pada pengamatan yang dilakukan oleh praktikan terjadi kesalahan, misalnya cairan selom tidak tersebar merata pada permukaan kertas lilin, sehingga cacing melewati bagian yang tidak terkena cairan tersebut dan dilihat praktikan bahwa hal tersebut merupakan bentuk cacing memberikan respon yang positif. Bisa juga disebabkan kurangnya waktu untuk mengistirahatkan cacing tanah setelah diberi perlakuan, sehingga system saraf pada cacing tanah mengalami kelelahan yang berakibat pada system saraf tidak mampu lagi memberikan atau merespon stimulus yang mengenai reseptor.
Berdasarkan uji Chi Square (X2), cacing tanah spesies A menunjukkan respon yang positif, jadi tidak terjadi komunikasi kimiawi pada cacing tanah spesies A jika terdapat cairan selom disekitar mereka. Sedangkan pada cacing tanah spesies B, menunjukkan respon yang negative, jadi terjadi interaksi kimiawi terhadap cairan selom yang ada disekitarnya.

DAFTAR RUJUKAN
Susilowati, Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM
Kastawi, Yusuf. 2003. Zoologi Avertebrata. Malang: FMIPA UM
Riyanto, Sugeng. 2005. Filum Annelida. (Online), (http://www.ziddu.com/download/3144228/ filum Annelida.doc.html, diakses tanggal 23 Oktober 2009)

Schooling pada ikan

Tingkah laku hewan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu tingkah laku individual dan tingkah laku sosial. Tingkah laku individual dilakukan oleh satu individu hewan, misalnya burung elang mencari makan di muara sungai. Tingkah laku sosial terjadi karena adanya kerjasama diantara anggota-anggotanya. Contoh dari tingkah laku social adalah schooling pada ikan (Susilowati, dkk., 2001).
Tingkah laku social diawali dengan daya tarik, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan. Setelah terjadi pendekatan dilanjutkan dengan agregasi/ pengelompokan, dan akhirnya dilakukan kerjasama. Tujuan dari tingkah laku social adalah untuk pemeliharaan baik individu, kelompok maupun spesies (Susilowati, dkk., 2001).
Ikan berenang secara berkelompok, hal ini jelas merupakan suatu bentuk organisasi social. Biasanya individu dalam suatu kelompok ikan terdiri atas satu spesies, memiliki ukuran yang hampir sama, tidak memiliki pemimpin, serta semua individu melakukan aktivitas sama dalam waktu yang sama pula (Susilowati dan Rahayu, 2007).
Pitcher dalam Bone, dkk. (1995) menjelaskan bahwa perilaku social ikan terdiri atas perilaku “school” dan “shoal”. Istilah school untuk mendeskripsikan kelompok ikan yang berenang bersama-sama dengan kecepatan sama, berorientasi pararel, dan memiliki jarak terdekat antar ikan (NND= nearest-neighbar-distance) yang konstan. Dalam hal ini, terbentuknya school tersebut karena adanya respon social yang positif antara individu yang satu dengan yang lain, bukan karena sama-sama merespon suatu faktor lingkungan. Jadi kelompok ikan yang terbentuk ketika beberapa ekor ikan mendekati suatu stimulus eksternal (misalnya makanan) bukanlah suatu school, karena kelompok ini akan bubar begitu stimulusnya hilang (Price, 1975). Adapun perilaku “shoal” merupakan kelompok social ikan yang melakukan orientasi secara acak dan memiliki variasi jarak terdekat antar ikan (Susilowati dan Rahayu, 2007). Menurut Pitcher (1993), ikan memperoleh banyak manfaat dari perilaku shoaling termasuk pertahanan terhadap predator (melalui deteksi pemangsa yang lebih baik dan dengan menipiskan kemungkinan penangkapan individu), meningkatkan keberhasilan mencari makan, dan keberhasilan yang lebih tinggi dalam mencari pasangan.
Menurut Pitcher, TJ & Parrish, JK., (1993), schooling memiliki manfaat pada kawanan ikan untuk peningkatan efisiensi hidrodinamik antar anggotanya. Beberapa spesies ikan dalam schooling mengeluarkan "lendir" yang membantu untuk mengurangi gesekan air ke tubuh mereka. Ikan juga melakukan suatu pola gerakan ekor yang "bolak-balik" sehingga dari ekor mereka menghasilkan arus kecil yang disebut "pusaran". Setiap individu, dapat menggunakan pusaran kecil dari anggota ikan yang lain untuk membantu dalam mengurangi gesekan air pada tubuhnya sendiri. Sehingga, selain terjadi peningkatan efisiensi hidrodinamik, schooling juga bermanfaat untuk penghematan energi.
Keuntungan lain dari schooling adalah faktor keamanan terhadap predator. Schooling memberikan kesan jumlah anggota yang sangat banyak dalam wilayah yang luas. Kesan tersebut membingungkan predator untuk memangsa anggota kelompok. Selain itu, terdapat konsep "keamanan dalam jumlah”. Begitu banyak ikan dalam spesies memungkinkan anggota kelompok untuk bersembunyi di balik satu sama lain, sehingga membingungkan pemangsa oleh perubahan bentuk dan warna yang disajikan sebagai pola schooling yang berenang bersama. Tentu saja, individu yang berada di tepi luar school lebih mungkin untuk dimakan daripada yang di tengah. Namun, karena jumlah anggota yang sangat banyak, ketika ada pemangsa dalam jarak yang dekat, kawanan ikan dapat membentuk pola pertahanan yang berbeda-beda dan mereka dapat berpindah dari satu konfigurasi ke konfigurasi yang lain dan kemudian berkumpul kembali hampir sebagai satu unit dalam waktu yang sangat cepat, sehingga kemungkinan predator yang mati atau menarik diri dari perburuan. Schooling juga memberikan kemampuan suatu spesies ikan untuk melakukan perjalanan yang sangat jauh dalam jumlah besar baik untuk mencari mangsa atau melakukan reproduksi (Prentice, 2000).
Perilaku schooling merupakan tingkah laku yang sangat kompleks. Dari penelitian menunjukkan bahwa pada schooling, terjadi komunikasi intraspesies yang menyebabkan pola berenang antar anggota kelompok terlihat rapi dan dapat berubah-ubah dengan konfigurasi yang berbeda dalam waktu yang sangat cepat. Menurut Prentice (2000), ketika ikan berenang dalam kelompok, pengaturan tingkah laku ikan dilakukan oleh sistem penglihatan dan oleh sistem gurat sisi. Pada gurat sisi terdapat garis sel neuromast khusus yang tersusun di kedua sisi badan ikan yang disebut dengan “acoustico-lateralis”. Kedua garis lateral tersebut sangat peka terhadap gerakan dan perpindahan air ketika ikan berenang dekat dengan anggota kelompok yang lain. Hal tersebut yang membantu menjaga ikan rapi, dalam pola teratur. Beberapa ikan tidak memiliki garis lateral, atau sel sensitif, dengan demikian bergantung pada penglihatan mereka. Namun pada ikan yang tidak mengembangkan sistem penglihatan, garis lateral sangat berperan penting dalam schooling.

PEMBAHASAN
a) Pengamatan ketika ikan semua spesies dicampur
Dari hasil pengamatan dan analisis data diatas, ketika empat spesies ikan dicampur pada satu akuarium, semua spesies ikan bercampur. Namun, dari ikan yang bercampur tersebut, suatu spesies ikan dapat dibedakan melakukan schooling atau tidak berdasarkan jarak antar anggota kelompok dalam satu spesies. Apabila jarak antar individu dekat, maka tingkat schoolingnya besar, sedangkan ikan yang jarak antar anggota kelompok dalam satu spesies besar, maka spesies ikan tersebut cenderung tidak melakukan schooling. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pitcher dalam Bone, dkk. (1995), yang menjelaskan bahwa perilaku social ikan terdiri atas perilaku “school” dan “shoal”. Istilah school untuk mendeskripsikan kelompok ikan yang berenang bersama-sama dengan kecepatan sama, berorientasi pararel, dan memiliki jarak terdekat antar ikan (NND= nearest-neighbar-distance) yang konstan. Jadi, dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa semakin dekat jarak antar anggota kelompok, maka afinitas spesies dan tingkat kerjasama antar anggota kelompok juga semakin tinggi.
Dari hasil pengamatan, diketahui 2 macam spesies ikan yang memiliki afinitas tinggi, yaitu spesies ikan zebra (bergaris kuning) dan ikan mas (ikan warna oranye). Kedua spesies ikan tersebut cenderung untuk berenang dalam kelompok yang satu spesies. Namun dari keduanya, spesies ikan zebra memiliki afinitas yang lebih tinggi daripada ikan mas karena jarak antar anggota kelompoknya lebih berdekatan, sehingga tampak bergerombol dan tidak ada ikan yang memisahkan diri dari kelompok untuk waktu yang cukup lama.
Ketukan yang diberikan pada dinding akuarium dan pemberian makanan merupakan suatu stimulus eksternal. Ketika diberi ketukan, ikan menjadi tersebar. Namun pada ikan yang memiliki afinitas tinggi, yaitu ikan zebra, meskipun terlihat tersebar, namun jarak antar anggota kelompok tidaklah jauh. Begitu juga ketika diberikan stimulus berupa makanan, semua spesies ikan berkerumun ditempat yang terdapat makanan, ketika makanan habis, ikan kembali tersebar, namun pada ikan zebra dan ikan mas jarak antar anggota kelompok tidak jauh. Hal itu sesuai dengan pernyataan Price dalam Susilowati, dan Rahayu (2007), yang menyatakan bahwa terbentuknya school tersebut karena adanya respon social yang positif antara individu yang satu dengan yang lain, bukan karena sama-sama merespon suatu faktor lingkungan. Jadi kelompok ikan yang terbentuk ketika beberapa ekor ikan mendekati suatu stimulus eksternal (misalnya makanan) bukanlah suatu school, karena kelompok ini akan bubar begitu stimulusnya hilang. Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan jarak antar anggota kelompok pada ikan zebra dan ikan mas selalu berdekatan yaitu adanya komunikasi intraspesies yang ditanggapi positif oleh masing-masing individu anggota kelompok.

b) Pengamatan afinitas spesies
Berdasarkan data pengamatan dan analisis data diatas, pada pengamatan afinitas spesies menunjukkan hubungan antara ikan uji dengan ikan yang ada di dalam akuarium kecil. Ikan uji cenderung berada di daerah conspesifik daripada di daerah heterospesifik dan daerah no fish. Hal ini disebabkan karena adanya daya tarik ikan yang berada di dalam akuarium terhadap ikan uji. Menurut Susilowati, dkk. (2001), daya tarik merupakan factor pertama untuk mengawali suatu tingkah laku social, yang kemudian dilanjutkan dengan pendekatan. Setelah terjadi pendekatan dilanjutkan dengan agregasi/ pengelompokan, dan akhirnya dilakukan kerjasama.
Tingkah laku social dalam hal ini adalah schooling, dilakukan oleh individu yang memiliki corak, ukuran yang hampir sama dan berada dalam satu spesies, sehingga meskipun kelompok ikan yang berada di daerah heterospesifik juga melakukan suatu pola tingkah laku, ikan uji cenderung tidak merespon stimulus daya tarik tersebut. Namun, kadangkala aktivitas yang tiba-tiba dari kelompok ikan di daerah heterospesifik merangsang ikan uji untuk mendekat ke daerah heterospesifik, tetapi tidak begitu lama ikan uji kembali lagi ke daerah conspesifik atau ke daerah no fish.
Menurut Partridge (1983), pada suatu schooling, terjadi suatu komunikasi intraspesies. Komunikasi tersebut dapat berupa gelombang bunyi maupun pola gerakan tertentu. Komunikasi intraspesies juga ditunjukkan oleh ikan uji melalui gerakan. Ketika ikan di daerah conspesifik melakukan suatu pola gerakan misalnya naik turun, maka ikan uji juga mengikuti pola gerakan tersebut, sehingga seakan-akan gerakan tersebut merupakan sarana komunikasi antara ikan uji dengan ikan yang berada di daerah conspesifik. Suatu pola gerakan yang dilakukan oleh kelompok ikan yang berada di dalam akuarium kecil ternyata menstimulus ikan uji untuk mendekat ke akuarium kecil dan melakukan gerakan yang sama. Sehingga, dapat dikatakan bahwa selain factor satu spesies dan memiliki corak warna yang sama, factor lain yang menyebabkan ikan uji cenderung berada di daerah conspesifik adalah adanya daya tarik berupa gerakan yang diperlihatkan oleh kelompok ikan di daerah conspesifik, yang merangsang ikan uji untuk berlama-lama di daerah conspesifik.

c) Pengaruh besar kelompok terhadap afinitas intraspesies
Berdasarkan data pengamatan dan analisis data, diketahui bahwa ikan uji cenderung untuk mendekati kelompok ikan yang jumlah anggotanya banyak. Hal ini dikarenakan jumlah anggota kelompok yang banyak, menyebabkan daya tarik yang dimunculkan oleh masing-masing individu anggota kelompok juga semakin besar, sehingga stimulus yang dihasilkan juga semakin kuat untuk merangsang ikan uji untuk mendekat.
Selain factor daya tarik, ikan uji mendekat pada kelompok yang jumlah anggotanya banyak karena factor untuk perlindungan diri. Hal ini sesuai dengan konsep "keamanan dalam jumlah”. Menurut Prentice (2000), keamanan dalam jumlah berkaitan dengan pertahanan terhadap predator. Apabila jumlah individu dalam suatu kelompok banyak, maka akan menimbulkan suatu kesan kelompok ikan yang sangat besar dalam wilayah yang luas, sehingga membingungkan predator untuk menangkap sasaran. Apabila dihubungkan dengan reproduksi, banyaknya individu memungkinkan masing-masing individu untuk memilih pasangan sehingga keberhasilan kawin lebih besar.
Ketika jumlah ikan dalam dua akuarium kecil sama, ternyata ikan uji cenderung lebih mendekat ke daerah kelompok ikan yang individunya memperlihatkan pola gerakan yang agresif. Pola gerakan yang dilakukan tiba-tiba oleh individu dalam akuarium 1 menyebabkan ikan uji tertarik dan mendekati kelompok tersebut. Sehingga, selain karena faktor jumlah anggota kelompok, spesies sama, ukuran dan corak warna sama, ternyata tingkah laku agresif yang diperlihatkan oleh anggota kelompok yang lain, juga berpengaruh terhadap schooling ikan.

DAFTAR RUJUKAN
Pitcher TJ, Parrish. 1993. Schooling. (Online), (http://seagrant.gso.uri.edu/factsheets/schooling.html, diakses tanggal 18 November 2009)
Prentice, K. 2000. Schooling. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Schooling_(fish), diakses tanggal 18 November 2009)
Susilowati, Rahayu Sofia Ery. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM
Susilowati, dkk. 2001. Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM

Tingkah laku semut mencari makan

setiap hewan membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Hewan akan aktif melakukan pengamatan di sekitarnya untuk menemukan makanan. Pada kelompok hewan yang yang melakukan kerja sama dalam mendapatkan makanan biasanya salah satu dari anggota tersebut akan memberikan informasi tentang sumber makanan pada anggota lainnya. Informasi tersebut setiap spesies memilki spesifikasi tertent, misalnya pada lebah madu. Hewan ini akan menemukan tarian yang khas apabila menemukan makanan. Akibat dari tarian tersebut maka anggota lainnya akan menetahui tentang adanya makanan tersebut.
Semut juga termasuk hewan yang melakukan kereja sama dalam mencari makanan. Apabila salah satu semut menemukan makanan maka akan diinformasikan pada anggota lainnya. Untuk terbentuknya kerja sama maka kegiatan tersebut diawali dengan “daya tark”, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan, kemudian agregasi/pengelompokan, dan akhirnya dilakukan kerja sama bersama-sama (wikipedia ;2009).
Semut adalah serangga eusosial yang berasal dari keluarga Formisidae, dan semut termasuk dalam ordo Himenoptera bersama dengan lebah dan tawon. Semut terbagi atas lebih dari 12.000 kelompok, dengan perbandingan jumlah yang besar di kawasan tropis. Semut dikenal dengan koloni dan sarang-sarangnya yang teratur, yang terkadang terdiri dari ribuan semut per koloni. Jenis semut dibagi menjadi semut pekerja, semut pejantan, dan ratu semut. Satu koloni dapat menguasai dan memakai sebuah daerah luas untuk mendukung kegiatan mereka. Koloni semut kadangkala disebut superorganisme dikarenakan koloni-koloni mereka yang membentuk sebuah kesatuan (wapedia; 2009).
Semut telah menguasai hampir seluruh bagian tanah di Bumi. Hanya di beberapa tempat seperti di Islandia,Greenland dan Hawaii, mereka tidak menguasai daerah tesebut. Di saat jumlah mereka bertambah, mereka dapat membnetuk sekitar 15 - 20% jumlah biomassa hewan-hewan besar.

PEMBAHASAN
Klasifikasi Ilmiah semut adalah sebagai berikut:
Kerajaan: Animalia
Filum: Artropoda
Kelas: Insekta
Ordo: Hymenoptera
Upaordo: Apokrita
Superfamili: Vespoidea
Famili: Formicidae
Latreille, 1809, dalam wikipedia 2009


Kehidupan seekor semut dimulai dari sebuah telur. Jika telur telah dibuahi, semut yang ditetaskan betina (diploid); jika tidak jantan (haploid). Semut are holometabolism, yaitu tumbuh melalui metamorfosa yang lengkap, melewati tahap larva dan pupa (dengan pupa yang exarate) sebelum mereka menjadi dewasa. Tahap larva adalah tahap yang sangat rentan.
Tubuh semut terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, mesosoma (dada), dan metasoma (perut). Morfologi semut cukup jelas dibandingkan dengan serangga lain yang juga memiliki antena, kelenjar metapleural, dan bagian perut kedua yang berhubungan ke tangkai semut membentuk pinggang sempit (pedunkel) di antara mesosoma (bagian rongga dada dan daerah perut) dan metasoma (perut yang kurang abdominal segmen dalam petiole). Petiole yang dapat dibentuk oleh satu atau dua node (hanya yang kedua, atau yang kedua dan ketiga abdominal segmen ini bisa terwujud).
Jenis semut dibagi menjadi semut pekerja, semut pejantan, dan ratu semut. Perbedaan antara ratu dan pekerja (dimana sama-sama betina),dan antara kasta pekerja jika ada, ditentukan pada saat pemberian makan saat masih menjadi larva. Makanan Ini juga cara yang digunakan semut dewasa memdistribusikan makananpada semut dewasa lainnya. Satu koloni semut dapat menguasai dan memakai sebuah daerah luas untuk mendukung kegiatan mereka. Koloni semut kadangkala disebut superorganisme dikarenakan koloni-koloni mereka yang membentuk sebuah kesatuan. Adapun praktikum ini semut yang diamati adalah semut pekerja yang mana tugasnya adalah mencari dan mengumpulkan makann yang nantinya akan dikumpulkan di tempat tertentu di dalam sarang.
Semut memiliki pola pengumpulan makanan yang unik, yaitu bekerja sama antara satu semut pekerja dengan semut pekerja yang lain. Komunikasi antar semut/pekerja dilakukan dengan melakukan kontak antena antar semut dan juga dengan jejak kimia yang berupa hormon. Banyak spesies dari semut menggunakan feromon untuk menandai rute dari makanan ke sarang (Wilson 1971). Setelah menemukan makanan maka semut akan kembali ke sarang berhenti sejenak selama perjalanan untuk memnempatkan penanda feromon pada jalan yang dilewati. Kemudian semut tersebut melakukan perjalanan yang berulang dari sarang ke tempat makanan untuk lebih menguatkan jejak yang tadinya telah dibuat. Semut yang lain tidak tahu tentang makanan tersebut tetapi hanya mengikuti jejak feromon yang telah dibuat oleh semut sebelumnya. Setelah mengumpulkan makanan semut yang mengikuti juga melepaskan feromon saat kembalinya. Feromon ini juga yang menyebabkan semut berjalan dalam barisan yang lurus. Jejak feromon merupakan basis dari system informasi lokal. Dimulai dengan satu individu atau grup kecil dari semut yang merespon adanya makanan yang kemudian dibantu oleh semut yang lain yang mengikuti jejak feromon (Pasteels et al ; 1987)
Apabila semut dalam percobaan di atas diumpamakan sebagi leader seperti pada gambar di bawah ini (semut berwarna hitam), maka pola jalur yang dilalui oleh semut-semut yang mengikuti (recruited) dan leader saat menuju ke arah butiran nasi dan kembali ke sarang serta cara komunikasi yang dipakai maka dapat dijelaskan berdasarkan gambar di bawah ini:














Pada kepala semut terdapat banyak organ sensor. Semut, layaknya serangga lainnya, memiliki mata majemuk yang terdiri dari kumpulan lensa mata yang lebih kecil dan tergabung untuk mendeteksi gerakan dengan sangat baik. Mereka juga punya tiga oselus di bagian puncak kepalanya untuk mendeteksi perubahan cahaya dan polarisasi. Kebanyakan semut umumnya memiliki penglihatan yang buruk, bahkan beberapa jenis dari mereka buta. Namun, beberapa spesies semut, semisal semut bulldog Australia, memiliki penglihatan yang baik. Pada kepalanya juga terdapat sepasang antena yang membantu semut mendeteksi rangsangan kimiawi. Antena semut juga digunakan untuk berkomunikasi satu sama lain dan mendeteksi feromon yang dikeluarkan oleh semut lain. Selain itu, antena semut juga berguna sebagai alat peraba untuk mendeteksi segala sesuatu yang berada di depannya. Hal inilah yang digunakan semut sehingga ia dapat menemukan makannnya. Pada bagian depan kepala semut juga terdapat sepasang rahang atau mandibula yang digunakan untuk membawa makanan, memanipulasi objek, membangun sarang, dan untuk pertahanan (wikipedia ; 2009).
Pada gambar, terlihat bahwa leader berkomunikasi dengan recruited menggunakan kontak fisik dengan menggunakan antenanya, selain itu juga menggunakan penanda kimia yang berupa feromon yang dijelaskan seperti di atas, (karena sepeti yang telah dikemukakan, kebanyakan semut memilki penglihatan yang buruk). Hal inilah yang sebenarnya terjadi saat semut-semut tersebut bekerja sama untuk mencari makanan, sehingga mereka dapat menemukan jalur yang relatif lebih pendek dari jalur semula, serta dapat menuemukan lokasi makanan dan jalan pulang tanpa tersesat dalam waktu tertentu. Pengaruh feromon pada jalur ini akan semakin kuat sejalan dengan banyaknya semut yang mengambil jalur ini karena setiap semut yang lewat meninggalkan feromon pada jalur yang sama.
Berdasarkan data yang didapat, agregarasi semut akan terbentuk dengan anggota yang lebih banyak pada jumlah makanan yang lebih banyak pula. Hal ini kemungkinan juga disebabkan oleh komunikasi fisik dan kimia yang dilakukan oleh semut sehingga semut-semut tersebut terorganisir dengan baik dengan menyesuaikan jumlah pengikut dengan jumlah makanan yang ada.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2009. Semut. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Semut, diakses 14 Desember 2009 )
Anonim. 2007. semut. (online), (http://wapedia.mobi/id/Semut, diakses 14 Desember 2009)
Pasteels, J.M., Deneubourg, J.L. and Goss, S. 1987. individual to collective behavior in social insects: Self-organization mechanisms in ant societies (I):Trail recruitment to newly discovered food sources. Basel : les Treilles Workshop Birkhauser.
Wilson, E. O. 1971 The insect societies. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.

Orientasi gerakan pada larva lalat rumah

Sebagian besar insekta tanggap terhadap respon cahaya. Ada yang memberikan respon positif dan adapula yang memberikan respon negatif. Pada sebagian insekta cahaya hanya memberikan dorongan untuk melakukan suatu gerakan sedangkan pada sebagian lain cahaya juga mempengaruhi orientasi gerakannya. Gerakan yang berorientasi pada suatu sumber stimulus disebut dengan taksis. Sedangkan respon yang diberikan oleh hewan yang hanya memiliki reseptor tunggal (misalnya larva lalat rumah) disebut klinotaksis. Klinotaksis dibagi menjadi dua yaitu klinotaksis positif dan klinotaksis negatif. Klinotaksis positif merupakan respon yang mendekati stimulus, sedangkan klinotaksis negatif merupakan respon yang menjauhi stimulus (Anonim, 2005).
Reseptor cahanya tunggal pada larva lalat rumah berada pada bagian atas dan agak ke belakang dari mulut. Reseptor ini merupakan sekumpulan kecil sel peka terhadap cahaya (Barnett, 1981 dalam Susilowati, dkk., 1999). Sebagian dari mata tersebut terdapat perisai yang melindungi mata dari cahaya. Perisai ini terletak pada bagian belakang mata dan jika terkena cahaya akan menimbulkan bayang-bayang yang diterima oleh sel-sel yang sensitive terhadap cahaya. Agar bayang-bayang jatuhnya tepat, maka dikoreksi oleh gerakan larva tersebut.
Menurut Koptal (1980) dalam Susilowati, dkk. (1999) reseptor tersebut berbentuk konus dan berfungsi sebagai alat sensorik yang disebut sebagai “optic tubercle” (mata sederhana).
Dilakukan percobaan pada larva yang diberi tiga perlakuan berbeda yaitu cahaya yang arah datangnya miring, dari dua arah dan yang arah datangnya tegak lurus. Dari ketiga perlakuan diatas, hamper seluruh respon yang diperlihatkan larva adalah bergerak menjauhi sumber cahaya. Hal ini dapat terjadi karena cahaya memiliki suhu yang tinggi sedangkan larva tidak tahan dengan suhu tinggi dan yang paling penting mata sederhana larva hanya peka terhadap cahaya yang lemah. Pada intensitas cahaya yang tinggi, kepekaan mata akan menurun sehingga larva akan cenderung untuk bergerak menuju intensitas cahaya yang lebih lemah. Dengan kata lain, respon yang diberikan oleh larva yang berupa gerakan berpindah tempat menjauhi sumber cahaya disebut fotoklinotaksis negatif. Sebelum meninggalkan sumber cahaya, larva menlehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Hal ini merupakan cara larva untuk mengetahui intensitas cahaya di sampingnya sehingga larva dapat menentukan kemana arah perginya.
Cara larva berbalik arah dari cahaya yang datang dari satu arah, maka larva akan menoleh ke arah yang berlawanan dari arah tersebut kemudian berjalan dengan cepat ke arah yang berlawanan dengan arah cahaya. Pada perlakuan cahaya yang datang dari dua arah, larva bergerak lurus menjauhi titik potong cahaya. Pada saat salah satu lampu dimatikan, larva berbelok menjauhi sumber cahaya yang masih menyala. Pada perlakuan cahaya tegak, larva menoleh ke kanan kemudian lampu dinyalakan, dan saat menoleh ke kiri lampu dimatikan. Larva memberi respon dengan bergerak ke kiri. Hal ini terjadi karena cahaya jatuh pada mata larva yang terdiri dari sekelompok sel yang peka terhadap cahaya. Saat cahaya mengenai mata maka akan terbentuk bayang-bayang yang akan diterima oleh sel sensitive. Agar bayang-bayang jatuhnya tepat maka dikoreksi oleh gerakan larva tersebut. Mata larva bersifat peka terhadap cahaya lemah dan kepekaannya berkurang pada cahaya yang kuat dan menghasilkan panas yang lebih tinggi sedangkan larva tidak tahan panas. Akibatnya larva cenderung untuk memiih intensitas cahaya yang rendah untuk orientasi gerakannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan larva antara lain adalah intensitas cahaya dan suhu.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2005. Taksis. (Online), (http://www.pengetahuan_alam.com, diakses tanggal 18 Desember 2009).

Susilowati, dkk. 1999. Petunjuk Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang: FMIPA UM.

Kastawi, Yusuf, dkk. 2000. Zoologi Avertebrata. Malang: JICA.